Selasa, 01 Oktober 2019

Malam di Jogja

Aku, Tia dan Ica sampai di Jogja pukul 15.30.. perjalanan Solo-Jogja hampir semuanya aku habiskan dengan TIDUR. Yeaaah, jalan-jalan ditengah kondisi berpuasa memang mengantukan. Hehe. Setelah tiba di stasiun Jogja, kami langsung menuju loket tiket untuk memesan tiket pulang menuju Solo. (manusia macam apa kita ini?? Baru sampai distasiun sudah langsung beli tiket pulang lagi??) namun , hal tersebuh bukan tanpa alasan tentunya. Kami khawatir tidak bisa pulang ke Solo besok pagi dan ketinggalan kereta ke Semarang. Daaaan jeng jeeeeng sampai diloket tiket kami harus mulai spaneng karena tiket kereta Prambanan Express sudah habis di jam yang kami rencanakan. Tia mulai bingung khawatir tidak bisa pulang ke Semarang. Sementara Ica masih mencoba bernegosiasi dengan petugas tiket. Aku malah tidak terlalu memikirkan masalah tiket, yang penting kita ini lagi di Jogja, nikmati dulu saja. Setelah berdiskusi singkat, aku mengusulkan kalau kita naik kereta dari Jogja ke Solo besok pagi saja. Lalu melanjutkan perjalanan ke semarang dengan bis. Ica dan Tia setuju. Ica kemudaian coba memesan tiket kereta Prambanan Express untuk jam 05.30 besok pagi. Well, tiket pulang sudah ditangan. Tentu saja, keputusan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Yapp, konsekuensinya adalaaah kita harus menghabiskan waktu dari sore hingga besok pagi di Jogja. Ngapain? Ya gak tau. Pokoknya kita nikmati aja dulu. Hahaha.
                Setelah berjuang dengan loket tiket, kami melanjutkan berjalan kaki menuju pusat belanja Malioboro. Karena waktu sholat ashar sudah menyapa, aku memutuskan mencari masjid sementara mereka katanya mau mencari makan. (heyy!! Kurang ajar sekali. Saat sedang bulan puasa seperti ini sementara aku kehausan, mereka dengan santai meneguk segelas es jeruk dihadapanku.) :D aku kembali dari masjid dan menemukan mereka berdua tengah nangkring di tukang bakso. Diatas meja mereka sudah tergeletak 2 mangkok bakso yang tentu saja sudah habis lengkap dengan 3 gelas kosong disitu. (hey!! Siapa yang sudah menghabiskan 2 gelas es jeruk ini?) mereka minta maaf karena telah makan dan minum didepan orang yang sedang berpuasa sepertiku. Hmmm, baiklah. Itu bukan salah mereka. Wanita selalu punya alasan masuk akal untuk dibenarkan.
                Selesai dengan makan dan minum yang menyebalkan bagiku, kami berdiskusi untuk tujuan dan aktivitas selanjutnya. (ini salah satu yang aku kurang suka ketika harus berjalan-jalan lebih dari dua orang tanpa perencanaan yang matang) Ica mengusulkan untuk berjalan-jalan di malioboro sampai tugu Nol KM Jogja. (Apa kabar aku yang sedang berpuasa ini kawan? Wkwk). Untung saja suasana sore itu cukup bersahabat, matahari bersahabat, panasnya tak terlalu menyengat dan hiruk pikuk tidak terlalu padat. Jogja selalu membuat nyaman siapapun yang singgah. Entah aura macam apa yang ia tawarkan. Jogja selalu membuatku bisa menikmati setiap inci hiruk-pikuknya, orang-orangnya, seniman jalanannya, jajanan uniknya, dan tentu saja cerita-cerita setelahnya.
                Kami berjalan disepanjang area Malioboro. Tengok-tengok penjual batik, tas, dan aneka pernak-pernik ke-Jogja-an lainya. Sialnya, mataku selalu tergoda dengan aneka tas rajut lucu itu. Padahal tahun lalu aku sudah membeli sebuah Sling bag rajut saat di Bali. Ica dan Tia mengompor-ngomporiku sampai akhirnya aku meledak dan memutuskan membeli sebuah tas punggung rajut. Awalnya aku kaget bin tidak terima dengan harga yang ditawarkan si abangnya. 150k cuy! Hmmm, bukan Jogja namanya kalau tawar menawar berhasil. Aku menawar sampai harga 50k!  Kurang ajar sekali memang yaaa, haha! And then, I got it! Tas punggung rajut lucu itu masuk dalam kantongku.
                Menjelang waktu berbuka puasa, ada sebuah fenomena disini. Jalur pedestrian sekaligus markas PKL tersebut berganti gaya. Jika tadi siang-sore koridor tersebut dipenuhi pedangang bakso, gorengan, es dan aneka jajanan lainnya. menjelang waktu berbuka, mereka berganti shift dengan para pedangan penyetan, bakar-bakar an, sate dan sebangsanya. Aku faham.. maksudnya teriakan “Wayahe, wayahe, wayahe (saatnya, saatnya, saatnya)” itu adalah waktu pergantian shift para pedagang ini. Well! Selain fenomena shift pedangan, satu hal menarik yang selalu menjadi list “Most wanted” ku kalau ke Malioboro adalaaah seniman jalanan tunanetra yang sepanjang sore-malam menyanyikan tembang lawasnya Om Ebiet G. Ade, Dian Pisesha, Christine Panjaitan, Yuni Shara, dan sebangsanya. Lagu-lagu kesukaan almarhumah Ibu bisa aku nikmati dengan suasana lain disini. Aku bisa menghabiskan waktu berlama-lama di samping si seniman tersebut untuk sekedar menikmati lagu lawasnya. Dan jika diperhatikan lebih jauh, hampir semua seniman jalanan disana adalah penyandang tunanetra. Dengan bermodalkan tape, mix dan intrumen karaoke mereka bisa berjam-jam melantunkan aneka lagu lawas kesayangan.
                Saat waktu berbuka tiba, kami mampir disebuah warung lesehan penyetan dan aku memesan ayam bakar lengkap dengan lalapan dan es teh. Ah! Segar! Suasana berbuka yang syahdu lengkap dengan alunan lagu “tak ingin sendiri” dari Dian Pisesha yang dinyanyikan seorang ibu tunanetra dengan suara sekelas Raisa. Huh!! Suara ibu tersebut nyatanya lebih nyaman didengar daripada janji manis gebetan, wkwkw. Setelah berbuka dan Sholat Magrib, kebingungan menyapa kembali. Waktu masih menunjukan pukul 18.55 saat aku keluar dari masjid. Then, well! Ica mengajak kami jalan-jalan kembali ke Tugu Nol KM Jogja! What?! Seperti tidak ada objek lain saja. tapi, yaaaah aku memaklumi, kami ini jalan-jalan ditengah bulan ramadhan, budget terbatas, perencanaan kurang pas dan inilah konsekuensinya, rundown perjalanan jadi tidak jelas. Haha.
                Kami berjalan melintasi deretan pedangan batik, cinderamata, lukisan tangan, makanan, minuman, jajanan, sampai pertunjukan jalanan bisa kami saksikan disini. Aku meminta untuk sejenak duduk di bangku taman dekat situ. Angin malam itu rupanya sangat bersahabat. Malioboro yang mulai padat seakan menguap begitu saja. Tia masih berusaha mencari cara untuk bisa menemukan oleh-oleh bakpia kukus yang saat itu memang sedang booming2nya jadi oleh-oleh khas Jogja. Tiba-tiba seorang bapak penarik becak motor a.k.a cator menawarkan jasa antar keliling malioboro, alun-alun utara, dan pusat oleh-oleh hanya dengan 20k untuk 3 orang. Well, then his offering was accepted. Kita bertiga naik becak ukuran pada umumnya, bertiga, bertiga CUY!! Yaaa walaupun kita bertiga tidak ada yang punya badan diatas rata-rata tapi tetap saja pantat kita tak bisa dengan nyaman duduk disana. Si bapak mulai meluncur. Ica yang duduk dipangku diantara aku dan Tia mulai histeris ketakutan. Aku sekuat tenaga memeganginya. Kalau diingat-ingat mirip adegan Maudy Ayunda pada film Trinity Travelling saat naik bajaj di Filiphina. Persis! Cewek bertiga, histeris diatas becak dengan muatan yang tak biasa. Kurang ajarnya, Ica masih sempat memintaku mengambil foto.  Dan alhasil hanya rentetan foto blur yang rasanya kurang pas jika aku upload disini.
                Setelah mendapatkan 2 kotak bakpia kukus, kami kembali ke tempat awal kami berangkat bersama si bapak. Aku mengajukan usul untuk selanjutnya kita pergi ke kedai Kopi Joss saja karena disana buka sampai malam. Mengingat kedai Kopi Joss itu identik dengan tempat nongkrong cowok, Tia mengajak temannya yang di Jogja untuk bergabung. Well, sounds good! Kita bertemu dengan temannya Tia di depan KF* Malioboro lalu sama-sama berjalan kaki menuju angkringan kopi Joss di yang berada sekitar 100m dari stasiun Jogja. Kami saling berkenalan. Namanya Azmi dn Rizky. Oke, kesan pertama ku  adalah mereka cowok-cowok pendiam. Hahahaa. Namun, semua berubah ketika obrolan malam itu mulai seru dan menjurus pada hal-hal pribadi. Ternyata Azmi dan Rizky adalah tipikal anak yang mudah akrab. Oiya, sebelum aku lupa. Agenda nyobain kopi Joss ini adalah salah satu bucket list nya Ica yang penasaran dengan Kopi yang ditambahkan arang tersebut. Congrats! One of your list has been done! Buat kalian yang mau main ke Jogja, aku kasih tau aja plis siapin uang koin yang banyak. Karena kalau kalian nongkrong di angkringan pinggir jalan gini lebi dari 2 jam, percaya deh, jumlah pengamen a.k.a street artist yang nyambangin kalian bakalan ngabisin lebih banyak dari harga kopinya. Bisa dibilang mereka dateng 10-15 menit. Kalau kalian cuek sih bisa ajah, Cuma aku kadang ga tega aja apalagi kalau dia nyanyi nya bagus terus minta kita buat request lagu apa yang mau mereka nyanyiin buat kita. Hehehe..  salah satu pengamen yang menghampiri kami menawarkan apa yang mau ia nyanyikan untuk kami. Well, aku meminta ia menyanyikan lagu Ebiet G. Ade- Cinta sebening embun. Eh, dia malah ketawa dan bilang “waah, yang lain aja ya mba. Berita kepada kawan deh.”.. “Lha itu mah lagu soundtrack nya iklan2 bulan puasa mas, hehe” .. akhirnya ia menyanyikan lagi lain. Wkwkw.
                Kami nongkrong di angkringan kopi Joss sampai ja 12 malam. Suasana Jogja begitu nyaman dan seakan tak mengijinkan kami beranjak pulang. Namun, disisi lain kita tidak punya pilihan yang lebih baik untuk beristirahat malam itu. Stasiun menjadi satu-satunya tempat yang terjangkau bagi kami untuk melepas lelah. Setelah diantar oleh Azmi dan Rizky sampai di stasiun Jogja, kami langsung menuju peron stasiun untuk mengecas handphone. Petugas keamanan sempat menanyai kami mengapa tengah malam begini sudah di stasiun padahal kereta kami jam 05.30 besok. Hahaha sepertinya si bapak faham dan mengizinkan kami untuk masuk dan “menunggu” di peron stastiun. Bangku peron yang cukup panjang menjadi tempat bersandar yang cukup nyaman. Ditambah saat jam-jam tersebut stasiun sedang tidak terlalu ramai. Waktu menunjukan pukul 01.30 saat kami mulai “mensetting” posisi tidur senyaman mungkin saat itu. Aku yang sebelumnya sudah membeli makan sahur berinisiatif untuk makan sahur sebelum tidur. Takut kesiangan atau malas bangun. Wkwk!
                Meskipun stasiun kereta api dewasa ini sangat jauh lebih baik dari segi apapun. Namun, keamanan tidak bisa 100% kita jaminkan padanya. Kami yang saat itu mengisi daya baterai terpaksa tidur bergiliran agar satu sama lain bisa mengawasi barang-barang kami. Saat waktu menunjukan pukul 02.30 kami memilih pindah ke musholla stasiun karena dirasa lebih nyaman dan tidak terlalu berisik oleh kereta yang lalu lalang. Kami bisa tidur lebih baik di musholla stasiun. Meskipun, sebenarnya bukan hal yang etis tidur didalam musholla. Namun, posisi kami sebagai “orang yang sedang dalam perjalanan” tidak punya banyak pilihan. Waktu terasa begitu cepat ketika tiba-tiba suara orang-orang mula lebih ramai. Ketika itu jam menunjukan pukul 04.00. oke waktunya bangun lel! Sebuah fenomena lucu sekaligus menggelikan saat aku melihat ada seorang ibu yang entah sengaja atau tidak sedang sholat tepat di depan Ica yang sedang nikmat2nya tidur . hahaha! Aku membangunkannya dan seketika wajah kaget nan heran terurai dari Ica. Kami bertiga bergiliran ke kamar mandi untuk sekedar buang air dan cuci muka. Saat jam menunjukan pukul 05.00 setelah aku menunaikan sholat subuh, kami menunggu kereta jurusan Solo dan tiba di Solo pukul 8-an. Konsekuensi lain dari unplanned trip kali ini adalah kita harus pulang ke semarang dengan bis yang ongkosnya 3x harga tiket keretaLL
                Jogja selalu menyimpan cerita tersendiri. Tentang perjalanan penuh kejutan. Tak terduga dan tak pernah biasa. Jogja selalu menjadi tempat baru meskipun kami sudah sekian kali bertemu. Perjalanan kali ini tak hanya mendekatkan kami, ia mengajari kami banyak hal. Yaaaa, sometimes not all girls are made from someting nice. Sometimes, her beauty and strength is created from survival, adventure, brain and no fear. Learning is not only about what you know from books but also how you make a decision from your choice. And it`s really different between we knowing the path and walking the path.
Thanks buat kalian yang udah mau baca. Semoga bermanfaat. 

Selasa, 03 September 2019

The Most Special “F” Thing- Masa SMP



Faros Kandana Namanya. Mungkin kali ini aku akan bercerita cukup panjang tentang orang ini. Namun sebelumnya aku minta maaf kalau detail ceritanya tidak sepenuhnya aku sampaikan disini. Well, let`s get to the topic!
Namanya Faros Kandana (nama asli). Biasa dipanggil ‘Faros’ atau cukup ‘Ros’. Siapa dia? Well, dia adalah teman SMP ku. Anak yang hmmm tidak terlalu ganteng, namun punya wajah imut yang menggemaskan. Aku mulai mengenal Faros sejak kami sama-sama duduk di kelas 7F SMPN 1 Pagaden. Kami menjadi teman sekelas sampai kelas 8. Aku mengenal Faros sebagai anak yang pendiam. Namun diam-diam dia menyalip peringkat kelas kami. Masuk semester 2 ia dengan sangat tiba-tiba entah bagaimana caranya dia langsung melesat keposisi peringkat teratas dikelas kami. Tidak hanya itu, kurang ajarnya ia juga menjadi juara paralel dari keseluruhan kelas 7 saat itu. Bagaimana denganku ? hah! Aku terlempar jauh ke posisi 4 dikelas. Sialan!
Usut punya usut, Faros tidak main dukun apalagi joki saat mengerjakan ujian. Dari temannya aku tahu belakangan ini dia menjadi anak yang sangat disiplin dirumahnya. Pulang sekolah, makan siang, belajar, belajar dan belajar. Simpel. Itu saja strateginya mengalahkan kami semua. Selama kelas 7 aku dan Faros hanya teman sekelas yang hanya akan bertegur sapa ketika salah satu dari kita bertanya. Kita biasa saja. sebiasa penampilan Faros sehari-hari saat ke sekolah. Saat teman-teman yang lain sudah petantang-petenteng minta motor baru ke orangtuanya. Faros masih setia pulang pergi kesekolah dengan sepeda. Good job Bro!
Naik ke kelas 8 rupanya nasib masih menghendaki kami untuk satu kelas. Sekarang ceritanya lain. Aku sudah tau dia pintar. Juara umum paralel. Dan pastinya, aku akan menjadi pesaingnya dikelas. Pokoknya aku tidak mau kalah. Haha! Hubungan kami menjadi semakin oportunis. Misal, jika aku memintanya membantu PR bahasa inggrisku, maka dilain kesempatan ia akan memintaku membantu tugas Seni Rupanya. Setiap selesai ulangan harian kita selalu kepo dengan nilai satu sama lain. Diantara semua murid kelas, aku menjadi orang yang paling mudah mengakses ‘bantuan’ nya. Saat ujian semester kita selalu menjadi yang terakhir keluar dari ruangan. Bahkan saling tunggu satu sama lain. Sengaja mengakhirkan diri maksudnya. Namun selama 2 semester aku masih harus berlapang dada sebagai runner up dikelas kami. Baiklaah. Tidak masalah.
Selama kelas 8 bisa dibilang pertemanan aku dan Faros lebih cair. Tidak hanya sebatas menyapa alakadarnya. Kami mulai sering bertukar PR dan aku sudah mulai berani meledeknya. Misal : “Faros, kalau jalan jangan nunduk terus nanti nabrak!” atau saat petugas penagih cicilan buku pelajaran menagih dikelas dan mengatakan :” Faros, bapak kamu itu kepala desa lho. Masa ini kamu belum lunas juga.” Lalu saat jam istirahat aku menghampirinya dan mengatakan :”kamu tuh jangan diem aja kalau dibilangin gitu sama Bu X. Harusnya kamu bilang “yang kepala desa kan bapak saya bu, bukan saya.” Hahaha.” Dan seperti biasan dia hanya akan melemparkan tanggapan datar tanpa gelombang ekspresi.
Lambat laun aku merasa pertemanan oportunis penuh persaingan ini menyenangkan. Namun sayang, saat kami naik ke kelas 9 kami harus ikhlas berbeda kelas. Disatu sisi aku senang, aku punya kesempatan untuk menjadi yang pertama dikelasku. Namun, disisi lain aku sedih karena kehilangan teman sekaligus sumber ‘bantuan’ ku.
Kelas 9 berjalan dengan sangat lancar. Diawal semester aku bisa dengan mudah meraih peringkat 1 dan mempertahankannya hingga kelulusan. Singkatnya aku dan Faros lulus dengan sama-sama menjadi rangking 1 dikelas (yang berbeda). Tak lama proses pendaftaran siswa baru di jenjang SMA akan dibuka. Lagi-lagi aku dan Faros mendaftar di sekolah yang sama.
Saat hasil tes tulis diumumkan, again and again Faros selalu mengungguliku dalam hal akademik. Yah aku akui dia memang selalu didepanku. Meski mendapat nilai yang lebih baik dariku, Faros akhirnya mengambil SMA di Kota yang jaraknya bisa sampai 30 menit naik angkot dari SMA ku.
Sampai disini kebersamaan aku dan Faros. Singkat bukan?
Sangat singkat. Tanpa banyak cing-cong soal kenangan atau perpisahan. Aku dan Faros sudah memilih jalan masing-masing. Namun siapa sangka, siapa sangka “ketidakbersamaan” kita sejak saat itu justru menjadi awal cerita yang akan menjadi ingatan seumur hidup kami.
Cerita masa SMA kami akan aku tulis di bagian lain. Selamat membaca J

Selasa, 16 Juli 2019

TENTANG BERJALAN (about walking)


ini tentang kita yang memulai perjalanan bersama
tentang kita yang mengakhirinya dengan saling tergesa
kita akan selesai pada waktunya.

kita selalu berjalan "bersama"
namun, dengan kecepatan berbeda
ada yang berlari
ada yang berjalan
bahkan ada yang terseret-seret merangkak

ada yang memilih jalan bebas hambatan
ada yang memilih jalan besar penuh sesak oleh rintangan
bahkan ada pula yang memilih menyelusup diantara gang perkampungan

ada yang berhenti tuk sekedar menarik nafas
ada yang berhenti untuk sekedar menoleh ke belakang
melihat siapa yang tertinggal
ada pula yang berhenti untuk sekedar menanti bertemu sapa kembali

ada yang berjalan sendirian
ada yang sambil menggandeng pasangan
ada yang menggendong tas penuh barang bawaan
bahkan sampai terseok sambil memanggul setumpuk beban

namun kita sedang sama-sama berjalan.
semua akan mencapai tujuannya masing-masing
dengan cara, rasa dan cerita masing-masing

kita sedang sama-sama berjalan
namun,
tak ada yang tahu siapa yang akan sampai di tujuan atau lebih dulu dipanggil Tuhan.


--Semarang. 2019, July 16th

Jumat, 14 Juni 2019

Solo-Jogja : Our Sudden Trip




                Ide gila itu muncul tiba-tiba ditengah obrolan ngalor ngidul di beranda. Selepas sholat tarawih adalah waktu yang paling pas buat kita bertiga bercengkrama. Bisa diisi dengan obrolan bertema sampai bercanda basa-basi sekedar tertawa bersama. Aku, Ica, dan Tia belakangan ini menjadi akrab sejak aku pindah kamar yang bertetanggaan dengan mereka. Rutinitas di bulan ramadhan kita mulai berburu takjil dan buka puasa di masjid kampus hingga saling mengetuk pintu kamar ketika waktu sahur menegur. Obrolan malam itu akhirnya melahirkan ide gila untuk short trip sebelum kita semua pulang kampung. Solo dan Jogja menjadi opsi tak terbantah yang langsung putuskan dengan sah. Kita bertiga akan melakukan short trip ke Solo dan Jogja pada 25 Mei dan pulang ke Semarang pada 26 Mei pagi nya.
                Dua hari sebelum trip itu aku dan Ica membeli tiket kereta lokal Jurusan Semarang-Solo dengan harga RP.10.000,- per tiketnya. Dalam trip ini aku bertugas sebagai penanggungjawab BRT (Trans Semarang) dan Go-Car untuk mengantar kita dari satu tempat ke tempat lain. Sementara Ica yang mengurus tiket kereta dari Semarang hingga Jogja, dan Tia yang mengurus destinasi perjalanan kita.
                Finally, hari yang kita tunggu-tunggu tiba. Jam 8 teng kita sudah bersiap dari kosan untuk naik BRT menuju Stasiun Semarang Tawang. Dengan modal Kartu Mahasiswa kita jadi Cuma bayar Rp. 1000,-  sementara untuk menuju halte kita memesan Go-car bermodal voucher diskon, haha.
                Perjalanan menuju stasiun hari itu bisa dibilang cukup cepat. Dalam 30 menit kita udah sampai di Stasiun. Dan disini sebuah kejadian lucu satu persatu terjadi. Saat asyik-asyik menunggu panggilan untuk masuk peron, Tia khusyu dengan kamera nya jepret sana jepret sini sampai-sampai petugas tiket heran. H-10 menit dari jadwal keberangkatan, kita bertiga menuju petugas pemeriksaan tiket dan saat boarding pass kami di scan, data penumpang tidak mau keluar. Saat di cek, ternyata eh ternyata tanggal yang tertera di tiket adalah 26 Mei, that`s mean besok! Aku dan Ica salah tanggal saat memesan tiket. Tia sudah panik. Khawatir kalau plan kita gagal. Untung nya seorang petugas menyarankan kita untuk segera ke loket tiket, karena pelayanan Go-show bisa dilakukan maksimal 3 jam sebelumnya. Jadi, kita langsung lari menuju loket pemesanan tiket dan akhirnya berhasil mendapatkan 3 tiket menuju Solo dengan harga yang sama.  Perjalanan Semarang-Solo mennghabiskan waktu hampir 3 jam. Sepanjang perjalanan aku dan Ica sibuk mencari dan merencanakan destinasi yang bakalan kita kunjungi selama di Solo sementara Tia sibuk dengan vlognya. :D setelah sejam berlalu aku mulai jenuh dengan panorama monoton sepanjang mata memandang yang ku lihat hanya kebun jagung. Aku plek tidur disusul Ica. Aku kembali terbangun ketika kereta sampai di statsiun Gemolong, tinggal 2 stasiun lagi kita tiba di Solo.
                Kereta tiba di Statiun Solo Balapan pukul 11.40, karena aku harus sholat dzuhur sementara hari itu Ica dan Tia kebetulan sedang berhalangan. So, trip ditengah kondisi berpuasa ini hanya dirasakan olehku. That`s Fine! Aku menunaikan sholat dzuhur sementara Ica dan Tia menunggu diluar musholla stasiun. Selesai Sholat kita tidak langsung menuju destinasi Istana Mangkunegaran, melainkan menuju loket tiket untuk membeli tiket kereta menuju Jogja. Plan awal kita akan menghabiskan waktu di Solo setidaknya sampai jam 17.00. namun, jadwal tiket kereta Prameks dari Solo ke jogja hari itu sudah habis untuk jam 16.40. Masalah kehabisan tiket mulai mengubah plan kami. Oke, setelah berdiskusi singkat disamping loket kita memutuskan untuk membeli tiket menuju Jogja pukul 14.00. tiket sudah ditangan. Namun, saat itu jam tangan menunjukan pukul 12.15. Hissssh akan sangat singkat sekali trip di Solo ini. Tapi apa boleh buat. Ini sudah keputusan bersama.
                Aku memesan Go-car menuju Istana Mangkunegaran dengan hanya membayar gopay Rp.3000,-. Sampai di Istana Mangkunegaran kita lagi-lagi seperti orang asing yang gak tau jalan. Clingak-clinguk sana-sini sampai akhirnya ada seorang staf istana yang menunjukan tempat pembelian tiket. Di loket kita diberitahu tentang jasa pemandu yang yaa memang di bayar seikhlasnya, tapi kita sebagai mahasiswa yang harus serba hemat harus berfikir sekian menit untuk mengiyakannya. Meskipun pada akhirnya kita menyetujuinya.
                Istana Mangkunegaran adalah sebuah kompleks istana yang di tinggali oleh keluarga keraton Solo. Sang tourguide yang terbilang sudah cukup sepuh menjelaskan berbagai hal mulai dari makna tiap gambar dan ornamen yang ada di tiap sudut istana hingga sejarah silsilah keluarga keraton dan berbagai barang antik dengan kisah uniknya masing-masing. Beberapa benda sudah familiar kulihat. Namun ada juga benda-benda unik yang benar-benar autentik dan setelah dijelaskan oleh si bapak tourguidenya aku Cuma bisa mengangguk takjub. Well, si bapak juga dengan senang hati memfoto kami di beberapa spot rekomendasinya. Satu hal penting yang aku sadar dari perjalanan di Istana Mangkunegaran adalah betapa masih secuilnya pengetahuan sejarahku. Tiap si bapak menjelaskan satu hal dan kemudian bertanya “mba tahu yang namanya bla blla  bla ...?” dan akuu hanya bisa menjawab dengan pertanyaan balik “oiya, apa itu pak?” haha ..mungkin si bapak menganggap aku ini mahasiswa tapii pengetahuan sejarah dasarnya kelewat. Pesan penting buat kita semua : perbanyak membaca, apapun itu. Karena bagaimanapun kita sebagai generasi muda inilah yang akan menjadi pewarisnya Indonesia. Bagaimana bisa menjadi pewaris yang baik jika kita tidak mengenal apa yang akan diwariskan untuk kita. Yuk belajar sejarah! J
                Setelah puas berkeliling kami melanjutkan perjalanan menuju jogja selam 1 jam 15 menit  dan tiba di stasiun Tugu Jogja pukul 15.30.... to be continued






Jumat, 31 Mei 2019


pic: pixabay.com


STATIS 


Masih dengan langit-langit yang sama
Masih dengan rutinitas yang sama
Tanpa gelombang dinamika
Tanpa bising nada-nada
Begitu diam
Dalam hening mendalam
Begitu tenang tanpa bintang gemintang
Hanya ditemani cahaya redup dan bunyi sayup-sayup

Kamis, 30 Mei 2019

sumber : dok. pribadi

Untuk atau Bersama ?
“konsep pengabdian gaya baru”

            Pengabdian adalah hal yang melelahkan, itu benar dan aku akui. Bisa dibilang diantara Tri Dharma Perguruan Tinggi, bagian ini adalah yang paling sepi peminatnya. Meskipun demikian, ada saat-saat dimana ia banyak diminati, ada saat-saat dimana ia banyak di banjiri orang-orang. Namun, ada hal yang unik disini. Akan ku ceritakan kepadamu, kawan.
            Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ku maksudkan diatas terdiri dari tiga hal yakni, pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tiga hal tersebut adalah kewajiban pokok yang wajib dilaksanakan oleh sebuah perguruan tinggi. Bicara soal Tri Dharma perguruan tinggi yang pertama yakni pendidikan. Ku ceritakan padamu, poin ini merupakan sebuah kewajiban, keharusan dan keseriusan yang harus di junjung tinggi oleh setiap insan kampus. Bagaimanapun, kewajiban utama seorang mahasiswa adalah belajar. Kamu bisa lulus dari sebuah perguruan tinggi, bukan karena kamu aktivis organisasi atau pejuang kompetisi. Pendidikan ini kau buktikan dengan selesainya skripsi dan kelulusan serta gelar mu yang akan tetap menjadi pembuktian eksistensi diri. Poin pendidikan ini wajib dilaksanakan oleh setiap mahasiswa selama masa perkuliahan, berani main-main dengan hal ini dipastikan nasibmu bisa berakhir di ruang dekan. Poin kedua yang tak kalah menterengnya adalah penelitian. Mendengar kata “penelitian” yang pertama terlintas dibenak mu pastilah serangkaian aktivitas pengamatan melelahkan, laboratorim penuh macam-macam larutan, deretan mesin dan alat setengah jadi bernama ‘Rancangan’ yang dihasilkan dari percobaan, atau malah serangkaian deretan piala penghargaan atas bermacam-macam penemuan. Yah, biasanya bagian ini adalah kesukaan mahasiswa penggila prestasi yang hobinya berkompetisi.
            Poin ketiga, Pengabdian Masyarakat. Poin ini bisa dibilang poin musiman bagi kebanyakan mahasiswa. Kenapa musiman? Mungkin teman-teman mahasiswa sudah tidak asing dengan yang namanya KKN (Kuliah Kerja Nyata). Sebuah kegiatan lapangan yang ‘menuntut’ mahasiswa untuk belajar mengaplikasikan disiplin ilmu yang menjadi fokusnya untuk mencoba memberi solusi atas permasalahan yang ada di masyarakat. Dan saat KKN inilah mahasiswa ‘diharuskan’ melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. KKN merupakan salah satu bentuk kegiatan pengabdian masyarakat kampus dalam hal memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sebuah kegiatan yang mengerahkan ribuan mahasiswa untuk secara masif ‘dituntut’ turun di masyarakat. Kenapa ‘menuntut’ dan ‘dituntut’ harus muncul untuk mendefinisikan kegiatan yang seharusnya bersifat sukarela ini? – jawabannya adalah karena kenyataanya sebagian besar mahasiswa menjalani KKN hanya sebagai pemenuhan SKS, bukan sebagai panggilan nurani untuk benar-benar mengabdi. Sehingga, solusi yang seharusnya disusun berdasarkan kondisi lapangan malah didasarkan pada keinginan. Konsep program yang kebanyakan masih menjadi panutan adalah “Hit and Run”, pukul lalu lari. Hit and run ini menjadi konsep pengabdian yang paling di sukai. Mengapa ?—karena sederhana. Kamu datang ke masyarakat, kamu punya sumberdaya entah itu barang, uang ataupun penemuan, berikan dan ajarkan kepada masyarakat, setelah timeline KKN selesai pulang. Urusan masyarakat bisa meneruskan atau tidak itu bukan urusan kita. Hal ini menyebabkan solusi yang diberikan hanya bersifat sebagai obat penahan sakit, bukan obat yang menyembuhkan. Sehingga kehadiran mahasiswa bukan membuat mereka berkembang, tapi membuat mereka ketagihan lalu ketergantungan. Barangkali, tujuan KKN atau kegiatan pengabdian masyarakat lainnya perlu sedikit di revisi. Bukan untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat, namun membentuk pola pikir masyarakat sehingga mereka mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini menjadi penting karena masalah di masyarakat akan sangat dinamis. Tidak bisa diselesaikan dengan satu atau dua solusi yang praktis. Konsep “hit and run” akan tetap menghasilkan solusi tanpa penyelesaian, karena dalam konsep tersebut kita beranggapan bahwa pengabdian masyarakat adalah kita bekerja ‘untuk’ masyarakat. Selama pengabdian masyarakat dilakukan dengan bekerja untuk masyarakat, kita hanya akan membentuk masyarakat menjadi mental pengemis bukan pengais.
            Lain hal nya dengan konsep “pemberdayaan masyarakat”. Bukan kita bekerja untuk masyarakat, tapi kita bekerja ‘bersama’ masyarakat. Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat yang berkembang. Namun kemampuan, softskill, dan pengetahuan kita sebagai mahasiswa juga akan ikut berkembang. Kita bukan lagi sebagai orang yang mengabdi kepada masyarakat, tapi kita sebagai orang yang mampu membuat masyarakat berdaya dan mandiri. Pada konsep ini seharusnya niat mahsiswa yang akan menjalani KKN mulai ditata. Sehingga, program yang disusun dalam KKN atau kegiatan sosial lainnya tidak hanya sekedar selesai sebagai laporan, atau indikator penilaian namun juga secara nyata membawa perubahan. 
pic: pixabay.com



ESENSI DAN TEKNOLOGI

semudah itukah teknologi mengubah esensi ?
membuat janji yang dengan mudah di ubah
membuat temu tak lagi mengurai rindu
membuat bicara bukan lagi tentang bertatap mata

semuanya meninggalkan jejak
hingga privatisasi dianggap diskriminasi
kita tak lagi mengenal rahasia
sulit membedakan mana yang iya dan tidak

semua bisa di cari
hingga kita mulai lupa dengan skill yang namanya bertanya
perlahan namun pasti
sosialisasi mulai menjadi isolasi

kita mulai asing dengan kenyataan
kita mulai lupa seni bertanya
kita mulai lupa etika bicara
kita mulai lupa cara bertanya

lalu, apakah mungkin kita sudah mulai kehilangan esensi sebagai manusia?

pic: pixabay.com

Perlahan Kejam

Ini seharusnya menjadi sederhana
Namun karena sebuah rasa
ini menjadi tak biasa
Bahkan permainan retorika menjadi kian mudah
Saat kita sama-sama tak ada yang mau mneyerah

Mempertahankan ego yang semakin menyesakan
Demi rasa nyaman yang kita tahu tak akan lama bertahan
Sudahlah! Berhenti membuatku terkesan
Jika setiap semoga hanya akan berujung harapan
Berhentilah tersenyum dan tertawa
Jika setiap kisahmu masih terselip nama nya

Mengertilah,
Ini tak hanya membingungkan
Ini menyesatkan.
Membuat setiap langkahku selalu berujung buntu
Ketika setiap kali berusaha melupakanmu
Rasa rindu selalu kembali seakan tak tahu waktu
Ia sangat keterlaluan
Namun membuatku kecanduan
Ya, itulah kamu!
Bagai racun yang mematikan
Namun dengan dosis yang aman kau justru membuatku ketergantungan
Mengapa tak sekalian kau berikan racun itu untukku?
Agar semua ketergantungan ini selesai
Meski aku yang harus terkulai

Tapi,
Kau tetap memilih dosis aman
Agar aku tak merasa bahwa ia mematikan
Kau sengaja membuatku lebih lama bertahan
Agar kisahmu masih ada yang dengar
Dan disimak dengan tegar

Aku kian rapuh
Saat kau tiba-tiba menjauh
Sementara aku sudah terlanjur butuh
Aku merasa kian kalah
Saat kau terus melangkah  
Menuju pelabuhan lain yang lebih indah
Aku benar-benar punah
Musnah!
Bersama butiran tanah basah
Menuju muara penyesalan yang tak kunjung sudah.

pic : pixabay.com
PENANTIAN 

Hari demi hari telah ku lalui
Waktu demi waktu telah ku lewatkan
Lautpun telah kusebrangi
Tiada terasa dan tiada kurasa

Rambutpun mulai memutih
Kulitpun mulai mengerut
Dunia mulai menua
Mengejar cita-cita tiada rasa tiada karsa

Bertambahnya luka yang tiada tara
Tak membuatku berputus asa

Wahai sahabatku,
Jadilah engkau jadi pohon beringin
Dimana insan dapat berteduh
Dan janganlah engkau jadi pohon yang kering
Tempat sang pungguk melepas rindu
dan kang pondok mencari kayu



pic: pixabay.com

FILOSOFI JALAN KAKI

Kadang,
Untuk bisa searah, kita harus mengalah

Kadang,
Untuk bisa selamat, kita harus melambat

Kadang,
Untuk bisa tetap bertatap, kita yang harus mendekat

Sabtu, 11 Mei 2019




#PART 1
"Thanks Ketanggungan yang gak tanggung-tanggung"

Setelah menjelajahi kudus dan makan malam sampe mabok di Semarang, entah dapat bisikan dari mana aku ikut kegiatan lapangan yang gak tanggung-tanggung. Serius ini gak tanggung-tanggung sampe aku dapat lokasi survey di tempat namanya Kecamatan Ketanggungan, Kab. Brebes.
Lucunya, sebelum akhirnya aku kesambet ngeklik send buat kirim biodata buat apply kegiatan ini aku selalu ngeledekin temen aku yang udah kecanduan sama kegiatan ini. Agak konyol sih, aku kayak jilat ludah sendiri (jangan di bayangin). Ngejalanin sesuatu yang awalnya aku ketawain habis-habisan. Alhasil pas H-1 berangkat aku masih nge exclude temen aku itu (sebut aja Udin Re: bukan nama asli) dari daftar orang yang bisa nge-seen story whatsapp aku. Chill banget. Maksudnya biar dia gak tau kalau aku ikut survey kayak dia. Jujur aku takut di ketawain balik habis-habisan.
Well, sebenernya kegiatan survey ini bukan kegiatan yang lucu. Sama sekali gak ada yang lucu. Yang lucu itu cuma kamu, iya kamu.
*malah gombal...
Jadi tugas aku di survey ini adalah wawancara responden dan mengupload hasil wawancara secara online. Yap, pekerjaan yang benar-benar ramah lingkungan. Tanpa kertas dan setumpuk dokumen. Bisa aku bilang ini main sambil kerja. Dengan cuma modal hape dan kuota.
Singkat cerita, tanggal 16 April 2017 aku berangkat dari Semarang ke Brebes naik KA Kaligung yang jam 08.55 dan sampe di Stasiun Brebes jam 11.32. H-15 menit nyampe aku udah mulai nyeting pesenan go-je* dan ngecek harga buat sampe ke Kantor Camat Ketanggungan. 27k its okay. Padahal kalau aku sabar dikit, turun dari kereta dipintu keluar stasiun terpampang nyata senyata-nyata nya ada angkutan umum elp dari stasiun brebes ke Ketanggungan. Huh! Dasar aku, pinginnya yang cepet. Padahal budget pas-pas an. Tapi karena aku totalitas jadi masalah akomodasi sebagian jadi kewajiban aku (dompet aku) buat nalangin hal-hal remeh temehnya.
Well, then we arrive at Brebes Station. Si babang udah nangkring depan stasiun dan mungkin karena liat “tampilan mahasiswa” aku si abang tanya mau langsung ke Ketanggungan? Ya iyalah pak, masa transit dulu di Tegal.
Setelah mulai jalan, aku baru ngeh ternyata ini lewat jalan pantura. Maps di hp aku nunjukin perjalanan masih 21 menit lagi. Gilaaaaa ternyata jauh weeeey!!
Yang aku pikirin bukan aku telat atau bakal gosong di jalan pantura, aku mikir ini nanti si babang nya balik lagi lumayan jauh. Jiwa ibu peri aku gak tega. Tapi kalau aku minta turun di tengah jalan juga gak mungkin. Itu namanya sok Pahlawan!
Sepanjang jalan aku banyak ngeliat elp jurusan ketanggungan. Sekali lagi aku kembali nyeselin kenapa aku gak naik elp aja. Tapi ya sudah. Si babang goje* nya kasian kalau aku gerutu terus. Haha
“mba nanti turun di kantor kecamatannya ?” tanya si babang
“iya pak.” Aku jawab singkat.
Sebenernya aku masih gak tau habis dari kantor kecamatan mau kemana dan naik apa. Huh! Dasar Aku! Segala sesuatunya Cuma modal bismillah dan di akhiri Alhamdulillah. But really, it works!
Sampe di kantor kecamatan aku langsung tanya musholla dimana. Yap! Musholla dan masjid selalu jadi tujuan aku ketika di perjalanan aku bingung mau kemana dan naik apa.  Aku sholat dzuhur dan sedikit senderan di musholla sambil mikirin ini aku udah di kecamatan nya, tinggal gimana aku sampe di desa yang namanya Dukuhturi.
Fine, akhirnya habis beberes barang-barang aku mutusin buat beli es kelapa di warung sebrang sambil tanya-tanya kali aja ibunya tau pangkalan ojek terdekat.
Setelah beli es kelapa dan sedikit SKSD sama si ibu. Singkat cerita di sekitar situ gak ada ojek ataupun becak ataupun kapal otok-otok. Akhirnya si ibu nawarin buat berangkat bareng sekitar jam 3 an. Aku nge iyain karena i don`t have another plan saat itu. Gak sampe 20 menit si ibu berubah pikiran dan nyuruh sodaranya nganter aku ke balai desa Dukuhturi. Daaaaaan.. eng ing eng.. sodaranya si ibu adalah seorang pemuda bersarung dengan lengan penuh tato kayak pake manset batik..
Eh, aku harus ngapain nih? Hmmm i don`t have another choice again. Aku nge iyain dan minta maaf ke mas nya kalau aku malah negerepotin. Setelah mulai jalan, ternyata jaraknya lumayan.. buat aku itu lumayan deket. 2 km lah. Paling kalau jalan kaki 15 menit nyampe. Tau sendiri kata emak aku dulu, aku kalau jalan kayak orang lari. Haha
Ditengah jalan aku coba kenalan aja sama mas nya. Yakali udah ditolongin gak tau namanya sama sekali orang yang nolongin kan kebangetan. Namanya mas Arif. Weeeeh! Jenenge apik yo (namanya bagus ya). Aku kenalan kalau nama aku Leli Asli Jawa Barat tapi udah 4 tahun di Semarang.
Singkat cerita aku udah sampe ke balai desa dan ngasih surat izin kegiatan survey aku dan ngelanjutin buat nyari TPS yang dimaksud. Lagi-lagi aku minta maaf gara-gara harus ngerepotin mas Arif nganter aku sampe ketemu KPPS nya. Di tengah jalan dia sempet cerita kalau dia dulu di pesantren di Magelang tapi 2 tahun aja. Habis itu dia kabur dan ikut temen-temennya sampe kayak gini. (tatoan)
“dulu tuh aku mondok di pesantren di magelang mba. Dapet 2 tahun tapi habis itu aku kabur dan sampe kayak gini. Makanya ibu bapak tuh kecewa banget sama aku sekarang.”
“waah keren ya mas, sempet di pondok. Aku dulu di pondok Cuma 2 bulan habis itu minta dijemput balik. Gak kuat aku.”
Aku berusaha ngeapresiasi prestasi mas Arif yang ternyata anak pondok weeee.. gak main-main cuy!
Oke, pelajaran berharga lagi buat aku : Jangan liat orang dari luarnya aja. Karena sekarang banyak orang style penjahat tapi ternyata hatinya ustadz. Sama juga banyak orang yang tampilan pejabat ternyata penjahat!
So many things i`ve learned today.
Aku masih harus nginep sampe besok, dan karena keahlian survival aku udah gak di raguin lagi. Di hari yang sama sebelum ashar, aku udah dapet tempat buat tidur nanti malam. Thanks mas Arif, hope someday we can meet again. Semoga selalu diberkati Allah. J
Cerita 2 hari kedepan, next section yak! Karena bakal panjang banget kalau dijadiin satu, hahaha. Aku aja males bacanya kalau kebanyakan... well.. semoga bermanfaat guys!

Minggu, 17 Februari 2019


Heart to Serve

            Seminggu ini sudah 3 kali aku PP Semarang-Kudus. Berangkat pagi buta hingga pulang malam gulita selalu jadi rutinitas yang menjengkelkan (untuk dilihat). Tapi, ada sebuah kekuatan magis yang invisible dan membuat badanku seolah kebal terhadap rasa lelah dan sakit. Rutinitas lain yang harus tetap aku jalani demi passion aneh ku ini adalah sebuah agenda tiap kamis malam. Sebuah ritual penyiapan mental untuk mengatasi dinamika masyarakat yang akan kuhadapi. Sebuah ritual sakral yang karena saking sakralnya membuatku terjaga hingga waktu tahajjud menyapa. Ritual sakral ini adalah salah satu caraku untuk menabur ide-ide gila, memelihara semangat yang mulai diganggu putus asa, menyuburkan motivasi yang layu tanpa aba-aba, dan tentunya untuk menjaga hati agar senantiasa mau melayani.
            Pekerjaan sosial semacam ini bukanlah perkara sulit sebenarnya. Ini hanya tentang membuat ibu-ibu mampu mengolah pisang, menghasilkan produk, bisa dijual dan dapat keuntungan. Disisi lain ini hanyalah perkara tentang membuat kedai, mempromosikan wisata semacam sales-sales handphone, bermain bersama anak-anak, membuat mereka tertawa dan menghasilkan laba. Sederhana saja.
            Serangkaian proses yang menyusun jalan cerita tersebut adalah tentang bagaimana kita merelakan, bagaimana kita mengatur tuntutan kewajiban, dan bagaimana kita menstabilkan hati yang sedang dalam keraguan. Berusaha meyakinkan diri sendiri adalah mantra ajaib yang membuat hati merasa ringan untuk melangkah, tak memperdulikan apakah mereka mendukung atau menyanggah. Initinya bergerak saja.
            Lelah dan bosan adalah penyakit hati yang hanya akan dapat diobati dengan motivasi. Motivasi yang seharusnya datang dari diri sendiri. Bukan karena besar kecilnya materi, apalagi ada atau tidaknya si dia yang kamu cari. Untuk menumbuhkan motivasi permanen, kita perlu mengetahui dosis motivasi yang akan kita gunakan. Karena tidak dipungkiri, motivasi yang overdosis hanya akan memuculkan ledakan ambisi tak terkendali. Intinya ikuti kata hati, saat ia termotivasi, berjalanlah. Saat ia lelah coba beristirahat saja, tapi jangan menyerah. Hati selalu menunjukan sinyal terbaiknya, kapan ia harus duduk santai, kapan ia harus berjalan cepat, dan kapan ia harus lari melesat. Hati itu bisa dilatih, tinggal memilih saja. apakah kamu ingin menjadi hati yang tak peduli atau hati yang melayani?
            Baiklah kawan, kuceritakan padamu sebuah kisah tentang hati yang selalu melayani ini.
Mungkin kamu akan gemas dengan hal ini. Suatu sore, sebuah kepentingan mendesak memaksaku beranjak. Menempuh 2 jam perjalanan Semarang-Kudus, berkendara motor dari mulai senja tiba dan pulang ketika tengah malam menyapa. Jika dijumlah, 4 jam aku habiskan untuk perjalanan pulang-pergi, tidak termasuk kalau ada tragedi ban bocor atau habis bensin. Itu cerita lain lagi. Sore itu aku, bersama salah seorang yang menurutku cukup aneh (juga). Seseorang yang selalu meluangkan waktu untuk tidak hanya membersamaiku, tapi juga membersamai masyarakat. Sebenarnya yang kita lakukan malam itu hanyalah menghadiri rapat rutin mereka dan aku sendiri membantu ibu-ibu mengemasi keripik pisang. Tak jarang di sana kita berjalan sendiri-sendiri, aku membersamai ibu-ibu lugu dan ia membersamai sekumpulan remaja tak banyak gaya. Dia membersamai mereka (remaja Kelompok Sadar Wisata “GEMA”) menyusun proposal, surat undangan dan tek-tek bengek lainnya, yang sebenarnya bisa ia kerjakan sendiri. Tapi disini, kita belajar untuk membuat mereka mandiri dan mampu melakukanya kelak sendiri. Tak jauh beda denganku, malam itu kuhabiskan dengan membantu ibu-ibu membungkus keripik, membersihkan bekas peralatan masak, hingga menemani mereka berdiskusi hingga kantuk tiba. Mungkin untuk mahasiswa kebanyakan, pertanyaan umum yang akan meluncur adalah : “untuk apa sih?”.
Mendengarkan mimpi-mimpi sederhana yang bagiku luar biasa, melihat mereka tertawa, disitulah bahagianya. Bahagia ketika aku menjadi bagian dari mimpi mereka. Disinilah aku belajar. Belajar mendengarkan mimpi dan harapan, menumbuhkan motivasi dan keinginan, hingga pada akhirnya aku mengerti bahwa—untuk menjadi seorang pengabdi masyarakat yang kita butuhkan bukan hanya kecerdasan pemikiran, tapi yang terpenting adalah semangat, motivasi dan hati yang melayani.

Kamis, 14 Februari 2019

Pengorbanan atau penghormatan?
            Selepas kegiatan mengajar selama 2 minggu di Wonosobo, aku menjadi semakin jatuh cinta dengan namanya kegiatan sosial. Aku masih ingat, saat itu aku memasuki semester 4 perkuliahan. Semester yang cukup sibuk karena dalam seminggu aku berhadapan dengan 17 sks dikali 2, 34 sks dalam seminggu! Meski semester lalu IP ku terjun bebas, aku tak pernah berfikir bahwa itu karena kegiatan-kegiatan yang aku ikuti. Di semester super sibuk ini, aku memutuskan untuk bergabung di sebuah organisasi tingkat kampus yang cukup keren. Sebut saja BEM. Bidang Sosial Masyarakat adalah pilihanku, hatiku mantap ketika mengklik pilihan tersebut di formulir online. Sosial Masyarakat adalah nasibku disini.
            Awalnya sedikit kurang percaya diri, namun lingkunganku inilah yang membentukku menjadi lebih berani. Berani pulang lebih malam, berani berpetualang lebih jauh, berani bertemu lebih banyak orang, dan tentunya berani memilih lebih tepat.
            Pernah kalian bayangkan? Kamu mahasiswa, yang akan lebih wajar jika keseharianmu adalah kuliah, mengerjakan tugas, kerja kelompok, ikut lomba, penelitian dan seabreg akademik lainnya. Namun, semenjak disinilah aku mulai merasa ada yang tidak wajar dengan diriku. Akademikku memang tidak terlalu buruk, bahkan bisa dibilang cukup membuat orangtua ku mengangkat dagu. Bukannya memilih jadi mahasiswa jenius di laboratorium, pemegang suara di forum, atau bahkan jadi penyumbang prestasi nan harum. Tidak, aku memilih untuk menjadi versi lain dari semua itu. Aku malah lebih tertarik menjadi pendengar mimpi-mimpi, teman bermain anak-anak yang kehilangan, menjelajahi sudut-sudut pedesaan, bertemu sapa dengan manusia-manusia baru, menghabiskan waktu dengan bercerita dan tertawa, hingga membawa mereka miliki mimpi besar bersama.
            Jika mahasiswa umumnya kuliah di ruang kelas ber AC, di Sosial Masyarakat aku mendapat kuliah tambahan 3 sks tentang pemberdayaan masyarakat mulai pukul 21.00-03.00 pagi. Dilanjutkan dengan praktek langsung tiap sabtu atau minggu dengan menempuh 2 jam perjalanan untuk menuju lokasi eksekusi. Itu semua kulakukan setiap minggu, aku sudah menggadaikan hari-hari liburku demi passion aneh ini.
            Jika mahasiswa umumnya nongkrong di Cafe atau Mall, di sini tempat nongkongku tak lain adalah sebuah joglo kecil dikelilingi rumput liar tak tahu malu dan 11 petak kolam ikan kesepian, terletak di belakang sebuah bangunan SD yang tak lagi dipakai, terbengkalai. Tempat nongkrongku adalah sebuah dapur kecil dengan tumpukan kayu bakar di samping kandang kambing lengkap dengan sebuah pohon pete di sampingnya.
            Jika mahasiswa umumnya weekend liburan di pantai atau camping di gunung. Disini, weekend ku adalah mengecat tembok SD yang sudah hampir runtuh, menghias sebisanya, memangkas rumput liar di halaman, menyulap ban-ban bekas menjadi meja, menggoreng ubi sampai pukul 2 pagi, mengatur outbond bocah-bocah TK, atau bahkan menggulung rumput kolam.
            Jika mahasiswa umumnya pergi “me time” saat lelah atau bosan. Disini, lelahnya perjalanan kusandarkan sejenak di musholla Pom Bensin pinggir jalan, berlindung dari hujan di emperan toko, lalu beranjak pulang ditemani rembulan.
            Jika mahasisiwa umumnya stress berat menghadapi ujian semester, disini stress ku adalah saat menghadapi manusia-manusia yang mulai kehilangan semangat, ragu akan perubahan sampai hampir menyerah di tengah jalan.
            Semua hal diatas, kuliah, waktu bersantai, berlibur, me time dan segala tek-tek bengek nya hanya beberapa bagian dari sekian banyaknya “Pengorbanan” demi sebuah passion aneh yang tak wajar ini. Namun, presepri tentang pengorbanan tersebut seketika berubah.
            Saat semua itu aku anggap sebagai sebuah pengorbanan, ada sebuah rasa lelah dan marah tanpa sudah. Lelah—untuk apa ini semua, marah—kenapa harus ku korbankan semua itu. Prespektif pengorbanan hampir membuatku berhenti. Sebelum akhirnya aku bertemu sosok inspiratif yang mengubah semua stigmaku tentang pengorbanan. Beliau adalah seorang Dosen, Teman, sekaligus resosok penasehat yang mengajarkanku tentang bagaimana seharusnya aku memandang semua ini. Pertemuan dengan beliau membawaku memahami lebih jauh tentang arti passion anehku ini. Bukan hanya sekedar ketidakwajaran yang menyenangkan, namun aku kemudian memahami bahwa : “Pengabdian itu bukan pengorbanan, Pengabdian adalah sebuah penghormatan”. Oke kawan, Passion anehku itu bernama Pengabdian.

Jalan-jalan Ala Mahasiswa Setengah PNS Part 2

  Selepas isya, Aku, Apip dan Mas Azmi berjanji bertemu di depan minimarket dekat kosanku. Apip sudah siap dengan tas jinjing berisi laporan...