Pengorbanan atau
penghormatan?
Selepas kegiatan mengajar selama 2
minggu di Wonosobo, aku menjadi semakin jatuh cinta dengan namanya kegiatan
sosial. Aku masih ingat, saat itu aku memasuki semester 4 perkuliahan. Semester
yang cukup sibuk karena dalam seminggu aku berhadapan dengan 17 sks dikali 2,
34 sks dalam seminggu! Meski semester lalu IP ku terjun bebas, aku tak pernah
berfikir bahwa itu karena kegiatan-kegiatan yang aku ikuti. Di semester super
sibuk ini, aku memutuskan untuk bergabung di sebuah organisasi tingkat kampus
yang cukup keren. Sebut saja BEM. Bidang Sosial Masyarakat adalah pilihanku,
hatiku mantap ketika mengklik pilihan tersebut di formulir online. Sosial
Masyarakat adalah nasibku disini.
Awalnya sedikit kurang percaya diri,
namun lingkunganku inilah yang membentukku menjadi lebih berani. Berani pulang
lebih malam, berani berpetualang lebih jauh, berani bertemu lebih banyak orang,
dan tentunya berani memilih lebih tepat.
Pernah kalian bayangkan? Kamu
mahasiswa, yang akan lebih wajar jika keseharianmu adalah kuliah, mengerjakan
tugas, kerja kelompok, ikut lomba, penelitian dan seabreg akademik lainnya.
Namun, semenjak disinilah aku mulai merasa ada yang tidak wajar dengan diriku.
Akademikku memang tidak terlalu buruk, bahkan bisa dibilang cukup membuat
orangtua ku mengangkat dagu. Bukannya memilih jadi mahasiswa jenius di
laboratorium, pemegang suara di forum, atau bahkan jadi penyumbang prestasi nan
harum. Tidak, aku memilih untuk menjadi versi lain dari semua itu. Aku malah
lebih tertarik menjadi pendengar mimpi-mimpi, teman bermain anak-anak yang
kehilangan, menjelajahi sudut-sudut pedesaan, bertemu sapa dengan
manusia-manusia baru, menghabiskan waktu dengan bercerita dan tertawa, hingga
membawa mereka miliki mimpi besar bersama.
Jika mahasiswa umumnya kuliah di
ruang kelas ber AC, di Sosial Masyarakat aku mendapat kuliah tambahan 3 sks
tentang pemberdayaan masyarakat mulai pukul 21.00-03.00 pagi. Dilanjutkan
dengan praktek langsung tiap sabtu atau minggu dengan menempuh 2 jam perjalanan
untuk menuju lokasi eksekusi. Itu semua kulakukan setiap minggu, aku sudah
menggadaikan hari-hari liburku demi passion aneh ini.
Jika mahasiswa umumnya nongkrong di
Cafe atau Mall, di sini tempat nongkongku tak lain adalah sebuah joglo kecil
dikelilingi rumput liar tak tahu malu dan 11 petak kolam ikan kesepian,
terletak di belakang sebuah bangunan SD yang tak lagi dipakai, terbengkalai.
Tempat nongkrongku adalah sebuah dapur kecil dengan tumpukan kayu bakar di
samping kandang kambing lengkap dengan sebuah pohon pete di sampingnya.
Jika mahasiswa umumnya weekend
liburan di pantai atau camping di gunung. Disini, weekend ku adalah mengecat
tembok SD yang sudah hampir runtuh, menghias sebisanya, memangkas rumput liar
di halaman, menyulap ban-ban bekas menjadi meja, menggoreng ubi sampai pukul 2
pagi, mengatur outbond bocah-bocah TK, atau bahkan menggulung rumput kolam.
Jika mahasiswa umumnya pergi “me
time” saat lelah atau bosan. Disini, lelahnya perjalanan kusandarkan sejenak di
musholla Pom Bensin pinggir jalan, berlindung dari hujan di emperan toko, lalu
beranjak pulang ditemani rembulan.
Jika mahasisiwa umumnya stress berat
menghadapi ujian semester, disini stress ku adalah saat menghadapi
manusia-manusia yang mulai kehilangan semangat, ragu akan perubahan sampai hampir
menyerah di tengah jalan.
Semua hal diatas, kuliah, waktu
bersantai, berlibur, me time dan segala tek-tek bengek nya hanya beberapa
bagian dari sekian banyaknya “Pengorbanan” demi sebuah passion aneh yang tak
wajar ini. Namun, presepri tentang pengorbanan tersebut seketika berubah.
Saat semua itu aku anggap sebagai
sebuah pengorbanan, ada sebuah rasa lelah dan marah tanpa sudah. Lelah—untuk
apa ini semua, marah—kenapa harus ku korbankan semua itu. Prespektif
pengorbanan hampir membuatku berhenti. Sebelum akhirnya aku bertemu sosok
inspiratif yang mengubah semua stigmaku tentang pengorbanan. Beliau adalah seorang
Dosen, Teman, sekaligus resosok penasehat yang mengajarkanku tentang bagaimana
seharusnya aku memandang semua ini. Pertemuan dengan beliau membawaku memahami
lebih jauh tentang arti passion anehku ini. Bukan hanya sekedar ketidakwajaran
yang menyenangkan, namun aku kemudian memahami bahwa : “Pengabdian itu bukan pengorbanan, Pengabdian adalah sebuah
penghormatan”. Oke kawan, Passion anehku itu bernama Pengabdian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar