Heart
to Serve
Seminggu
ini sudah 3 kali aku PP Semarang-Kudus. Berangkat pagi buta hingga pulang malam
gulita selalu jadi rutinitas yang menjengkelkan (untuk dilihat). Tapi, ada
sebuah kekuatan magis yang invisible dan
membuat badanku seolah kebal terhadap rasa lelah dan sakit. Rutinitas lain yang
harus tetap aku jalani demi passion aneh ku ini adalah sebuah agenda tiap kamis
malam. Sebuah ritual penyiapan mental untuk mengatasi dinamika masyarakat yang
akan kuhadapi. Sebuah ritual sakral yang karena saking sakralnya membuatku
terjaga hingga waktu tahajjud menyapa. Ritual sakral ini adalah salah satu
caraku untuk menabur ide-ide gila, memelihara semangat yang mulai diganggu
putus asa, menyuburkan motivasi yang layu tanpa aba-aba, dan tentunya untuk
menjaga hati agar senantiasa mau melayani.
Pekerjaan sosial semacam ini
bukanlah perkara sulit sebenarnya. Ini hanya tentang membuat ibu-ibu mampu
mengolah pisang, menghasilkan produk, bisa dijual dan dapat keuntungan. Disisi
lain ini hanyalah perkara tentang membuat kedai, mempromosikan wisata semacam
sales-sales handphone, bermain bersama anak-anak, membuat mereka tertawa dan
menghasilkan laba. Sederhana saja.
Serangkaian proses yang menyusun
jalan cerita tersebut adalah tentang bagaimana kita merelakan, bagaimana kita
mengatur tuntutan kewajiban, dan bagaimana kita menstabilkan hati yang sedang
dalam keraguan. Berusaha meyakinkan diri sendiri adalah mantra ajaib yang
membuat hati merasa ringan untuk melangkah, tak memperdulikan apakah mereka
mendukung atau menyanggah. Initinya bergerak saja.
Lelah dan bosan adalah penyakit hati
yang hanya akan dapat diobati dengan motivasi. Motivasi yang seharusnya datang
dari diri sendiri. Bukan karena besar kecilnya materi, apalagi ada atau
tidaknya si dia yang kamu cari. Untuk menumbuhkan motivasi permanen, kita perlu
mengetahui dosis motivasi yang akan kita gunakan. Karena tidak dipungkiri,
motivasi yang overdosis hanya akan memuculkan ledakan ambisi tak terkendali.
Intinya ikuti kata hati, saat ia termotivasi, berjalanlah. Saat ia lelah coba
beristirahat saja, tapi jangan menyerah. Hati selalu menunjukan sinyal
terbaiknya, kapan ia harus duduk santai, kapan ia harus berjalan cepat, dan
kapan ia harus lari melesat. Hati itu bisa dilatih, tinggal memilih saja. apakah
kamu ingin menjadi hati yang tak peduli atau hati yang melayani?
Baiklah kawan, kuceritakan padamu
sebuah kisah tentang hati yang selalu melayani ini.
Mungkin
kamu akan gemas dengan hal ini. Suatu sore, sebuah kepentingan mendesak
memaksaku beranjak. Menempuh 2 jam perjalanan Semarang-Kudus, berkendara motor
dari mulai senja tiba dan pulang ketika tengah malam menyapa. Jika dijumlah, 4
jam aku habiskan untuk perjalanan pulang-pergi, tidak termasuk kalau ada
tragedi ban bocor atau habis bensin. Itu cerita lain lagi. Sore itu aku,
bersama salah seorang yang menurutku cukup aneh (juga). Seseorang yang selalu
meluangkan waktu untuk tidak hanya membersamaiku, tapi juga membersamai
masyarakat. Sebenarnya yang kita lakukan malam itu hanyalah menghadiri rapat rutin
mereka dan aku sendiri membantu ibu-ibu mengemasi keripik pisang. Tak jarang di
sana kita berjalan sendiri-sendiri, aku membersamai ibu-ibu lugu dan ia
membersamai sekumpulan remaja tak banyak gaya. Dia membersamai mereka (remaja
Kelompok Sadar Wisata “GEMA”) menyusun proposal, surat undangan dan tek-tek
bengek lainnya, yang sebenarnya bisa ia kerjakan sendiri. Tapi disini, kita
belajar untuk membuat mereka mandiri dan mampu melakukanya kelak sendiri. Tak
jauh beda denganku, malam itu kuhabiskan dengan membantu ibu-ibu membungkus
keripik, membersihkan bekas peralatan masak, hingga menemani mereka berdiskusi
hingga kantuk tiba. Mungkin untuk mahasiswa kebanyakan, pertanyaan umum yang
akan meluncur adalah : “untuk apa sih?”.
Mendengarkan
mimpi-mimpi sederhana yang bagiku luar biasa, melihat mereka tertawa, disitulah
bahagianya. Bahagia ketika aku menjadi bagian dari mimpi mereka. Disinilah aku
belajar. Belajar mendengarkan mimpi dan harapan, menumbuhkan motivasi dan
keinginan, hingga pada akhirnya aku mengerti bahwa—untuk menjadi seorang
pengabdi masyarakat yang kita butuhkan bukan hanya kecerdasan pemikiran, tapi
yang terpenting adalah semangat, motivasi dan hati yang melayani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar