Kamis, 27 Februari 2020

Sometimes we only need to laught at Life it self



Gak ada hujan, gak ada badai, gak ada banjir, gak ada topan tiba-tiba kecepatan jalanku berkurang seperti bus tayo yang tiba-tiba diinjak remnya karena sang supir kaget melihat kucing kawin ditengah jalan.
Siang itu, jam tangan baruku yang masih kinclong dengan jujur menunjukan pukul 1. Saat dimana sang matahari sedang galak-galaknya. Tapi, apalah daya. Perut kelaparanku lebih galak dan menyiksa daripada matahari di ubun kepala. Aku berjalan sendiri menuju tempat makan yang jaraknya gak sampe 200 meter dari kosan. Berjalan sendirian di siang bolong demi memenuhi hasrat perut yang tak tahu diri ini. Sampai di tempat makan aku langsung pesan menu favoritku disitu. Nasi plus ayam bali ditambah semangkuk sayur sop. Sempurna. Tak sampai 15 menit, pesananku sudah datang lengkap dengan segelas es teh segar. Suapan pertama, kedua, ketiga semuanya masih baik-baik saja. Namun, tiba-tiba setiba-tibanya aku menaruh pasangan sendok garpu yang selalu romantis itu di atas piring nasi yang masih banyak muatannya. Mataku tiba-tiba menatap tajam pada mangkuk sop yang sedari tadi anteng dengan kuah panas namun tetap tak bergolak. Aku menghela nafas. Ku rogoh handphone di saku celanaku dan seperti biasanya, tanpa notifikasi.
Aku tiba-tiba merutuk dalam hati. Why why question merembet di tiap neuron otakku. Pertanyaan mengapa yang sangat menyebalkan. Saking menyebalkannya, ia sudah berhasil menghilangkan nafsu makanku siang itu secara tiba-tiba. Beruntung saraf lapar di perutku masih belum kehilangan akal sehatnya dan mampu membujukku untuk kembali menyatukan pasangan sendok garpu itu dan menghabiskan makananku.
Selesai makan aku langsung pulang dan melanjutkan menuntaskan buku bacaan baru ku yang bahkan kertasnya saja masih wangi. Tak sampai 20 menit membaca, lagi-lagi aku menaruh buku itu tiba-tiba dan menatap nanar pada langit-langit kamar. Sesaat kemudian terciptalah sebuah puisi macam ini ...
Masih dengan langit-langit yang sama
Masih dengan rutinitas yang sama
Tanpa gelombang dinamika
Tanpa bising nada-nada
Begitu diam
Dalam hening mendalam
Begitu tenang tanpa bintang gemintang
Hanya ditemani cahaya redup
Dalam bunyi sayup-sayup

Memang, hari-hari yang penuh kesibukan itu telah berakhir dan meninggalkan efek samping kegabutan yang maha menyiksa ini. Dua tahun alisa separuh waktuku di kampus aku habiskan dengan menjadi mahasiswa sendal jepit yang hobinya “apruk-aprukan” a.k.a jelajah desa. Sebuah kebanggan saat apa yang aku kerjakan mendapat buah manis dimana ditahun kedua, tim kami mendapatkan dukungan pendanaan dari kementerian ristekdikti. Tuhan memang tidak pernah lupa akan setiap perjuangan kita.

Dua tahun tersebut bukan waktu yang singkat. Bukan masa yang cepat. Dan dari dua tahun itulah aku mulai mengenal dan dekat. Aku dan Givar adalah dua orang yang dipertemukan dan didekatkan oleh sebuah passion aneh. We are really passionate on Community. Yap! Aku dan Givar adalah tipe manusia sosialis yang akan sangat gila jika dibiarkan lama-lama di dalam kamar SENDIRIAN. Kami sangat berbeda dalam hal akademik. Jelas. Ia di fakultas biru dan aku di fakultas ungu. Namun, banyak hal yang menjadikan aku dan Givar dekat. Hobi, gaya, kesukaan dan passion. Kita sama-sama tipe mahasiswa yang bisa dibilang santai dalam penampilan, tak jarang kita jalan berdua ke mall dengan bersandal jepit swallow. Aku dan Givar sangat hobi nonton bioskop. Sampai-sampai tiap awal tahun kita sudah punya list jadwal rilis film. Meski selera genre film kami kadang berbeda, namun kami selalu mencoba giliran mengalah satu sama lain. Aku penyuka adventure dan kartun sementara Givar pecinta Sci-fi dan biopik. Namun dalam urusan makan, selera kita sama. Murah, dekat, dan banyak. Kami bahkan lebih senang jajan di pinggir jalan daripada rumah makan. Bagiku, ada sensasi tersendiri. 

Hari itu, Givar mengirim pesan lewat whatsapp yang intinya sudah sangat bisa aku tebak. Dia ngajak nonton. Oke. Janjian kami tidak pernah ruwet. Simpel. Saling oke satu sama lain. And then done!
Givar menjemputku H-25 menit dari jadwal tayang film. It’s enough i guess. Awalnya semua baik-baik saja.
“Lel nonton Black Panther yak?”
“okelah”
Percakapan singkat di depan gerbang kosanku sebelum kami berangkat. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
Kami berangkat dari kosan menuju Bioskop yang berjarak sekitar 3 km dari kontrakanku. Sampai di depan sebuah swalayan motor yang dikendarai Givar sedikit oleng dan aku merasa ada yang tidak beres,
“Var, motor mu gapapa ?” tanyaku.
“Bentar Lel, coba kita berhenti dulu.” Jawab Givar sambil memarkir motornya di samping sebuah halte bis.
Setelah beberapa saat mengecek kondisi motornya, dengan nada sedikit menyesal Givar mengatakannya,
“Lel, ban motornya kempes atau mungkin bocor. Hmm begini saja, ini kan udah deket ke bioskopnya. Gimana kalau kamu jalan duluan, aku bawa motor ini ke bengkel di sebrang sana nanti aku segera nyusul kamu. Kalau udah sampai duluan langsung beli tiketnya aja ya.” cerocosnya tanpa mempedulikan wajah kesalku.
“Hmmm baiklah, aku jalan duluan.” Jawabku singkat sambil berjalan menenteng tas dan topinya.
Jarak halte bis ke bioskop memang tidak terlalu jauh, sekitar 200 meteran. Namun saat itu jam 21.00 dan aku sangat benci berjalan sendirian di pinggir jalan yang penuh abang-abang ojek yang kadang suka menganggu. Tanpa khawatir dan menoleh padaku si Givar dengan santai melenggang menuju bengkel motor di sebrang.
“Mba mau kemana sendirian saja? “ Tanya seorang kernet bis sambil berjalan mengikutiku. Aku sangat risih dan mempercepat jalanku.
“Mau ke XXI pak.” Jawabku singkat sambil berlalu menyebrang jalan.
Aku sampai duluan di Bioskop lalu bergegas menaiki eskalator menuju loket tiket. Sampai di depan loket tiket sebuah tulisan yang sangat mengecewakan menyambutku yang masih ngos-ngosan.
“Mohon Maaf Tiket “Black Panther” HABIS”
Seketika aku ingin memarahi Givar, tapi tidak ada gunanya. Aku duduk menunggu Givar di kursi tunggu. Sesaat kemudian ia datang dengan tidak kalah ngos-ngosan.
“Gimana Lel, udah dapat tiketnya?” tanya Givar.
“habis Var!” jawabku singkat sambil menolehkan kepala pada papan pengumuman sialan itu.
“waduh! Gimana yaa? Kalau nonton film lain gapapa?” bujuk Givar. Mungkin ia sadar aku sudah sangat kesal hari itu.
“ya udah, kita ke loket dulu aja yuk!”  ajak Givar. Dia memang paling sukses dalam urusan membujukku.
Sampai di depan loket, tersedia 3 pilihan film yang sama sekali tak menarik minatku.
Film pertama berjudul Eiffle, I`m in Love, lalu Film hantu yang sama sekali tak menarik, dan film komedi lokal Yowis Ben. Aku yakin tidak mungkin Givar mengajakku nonton Eiffel i`m in Love.
“kita nonton yowis ben aja ya?” tawar Givar.
“ya udah gapapa.” Jawabku singkat.
Rupanya kesialan hari itu belum selesai. Sampai diloket, setelah berdebat singkat soal film yang akan ditonton aku dan Givar memilih tempat duduk. Well, hampir satu bioskop sudah penuh. Menyisakan 2 tanda hijau yang menandakan kursi masih available. Namun kursi itu berada di baris ke 1 dan ke 2 dari layar.
“tinggal 2 kursi lagi mba. Mau diambil ?”
“hmm gaada lagi pilihan lain Lel. Gapapa yaa ?” bujuk Givar melihatku cemberut.
“ya sudahlah. Daripada kita pulang lagi, kan lawak ya?” jawabku.
Dan akhirnya malam itu kami menonton film yang sama sekali tidak direncanakan. Mengalami hal-hal diluar dugaan dengan perasaan yang sedikit mulai tak bisa dikendalikan. Ada kekesalan, kejengkelan, namun kembali lagi. Terkadang ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita dapatkan, hal itu merupakan bentuk perlindungan Tuhan akan hal-hal yang tidak baik bagi kita.
Meski sedikit kecewa namun kami masih bisa menikmati film komedi tersebut dengan tawa. Kami pulang sekitar pukul 11 malam. Sebenarnya jam yang masih sangat wajar untuk aku berada diluar kosan karena seringnya saat adzan subuh menyapa baru aku bertegur sapa dengan bantal dan guling dikosan.
Kami memutuskan untuk mampir di warung Burjo dekat kosanku dan memesan sepiring nasi goreng dan mie goreng dengan telur. Aku yang memang sudah sangat lapar langsung menghabiskan mi goreng tersebut. Dihadapanku Givar justru masih asik dengan Mobile Legend nya. Kuraih handphonenya dan mengatakan :
“Var, tau gak sih aku sering ngeliat orang yang terlalu asyik main gadget itu kayak orang idiot. They are innocent about their surronding. Take care anything if it has social climbing value. Kadang aku mikir ajah gadget itu hebat banget, seakan-akan dia diciptakan untuk mengubah esensi hal-hal seperti komunikasi, membuat janji, hingga empati.”cerocosku sambil mengangkat-angkat gadgetnya.
“Lel, jangan kebanyakan makan mie makanya.” Balasnya sambil meraih gadgetnya dari tanganku.
“Vaaar...” jawabku sambil memukul tangannya.
“gatau kenapa Var aku ngerasa tiap jalan sama kamu adaaaaa ajah kejadian-kejadian yang bikin aku ngelus dada. Si Arif pernah bilang katanya aku kalau jalan sama kamu terlalu sering menderita.” Cerocosku kesal,
“Lel, rasa menderita, kesel, capek dan sebagainya itu karena kamu melihatnya dari prespektif negatifnya ajah. Kamu ga nikmati proses kamu tadi jalan kaki sendirian malem-malem di terminal, atau proses kamu dorong motor ama aku sampe 6 kilo. Coba kalau kamu nikamti, pas kamu tadi jalan di terminal kamu bisa lihat disitu banyak anak-anak yang jam segitu masih jajakin koran dilampu merah. Kamu lihat itu, hati kamu pasti bersyukur karena punya kesempatan buat hidup lebih baik. Kamu dorong motor ama aku ampe 6 kilo kalau kamu ga ngeluh, kamu nikmatin prosesnya kamu bisa lihat sepanjang jalan banyak pedagang-pedagang yang cuma modal terpal ama bambu dan es marimas gopean. Berapa keuntungan mereka dari jualan kayak gitu? Cukup buat makan keluarganya?... itulah Lel,kadang semua kekecewaan, kelelahan dan kesedihan itu Cuma presepsi karena kamu mengambil sudut pandang yang seperti itu. Jadiiii, sekarang kamu jangan kebanyakan makan mie instan ama sotong ya. Jadi random banget gini kan ngomongnya.” Tutupnya.
“apaan sih Vaaaar...” kataku masih sinis.
“lho, bener kan apa yang tadi aku omongin?.. udah sekarang apa-apa jangan dibikin sedih... apa-apanya dibawa ketawa ajah sampe kesedihan itu nyerah bikin kamu sedih.”
“Var, tumben kamu malem ini bijak. Hehehe”
“Lel, serius lho bulan depan kamu yang bayarin nonton gamau tau pokoknya.”
“Aseeem ik” jawabku sambil memukul pundaknya.
Sebelum masuk ke kosan Givar masih sempat mengoceh...
“Lel, jangan kapok yaa aku bikin menderita :D” ditutup dengan senyuman paling manis yang bikin bulu kuduk meringis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan-jalan Ala Mahasiswa Setengah PNS Part 2

  Selepas isya, Aku, Apip dan Mas Azmi berjanji bertemu di depan minimarket dekat kosanku. Apip sudah siap dengan tas jinjing berisi laporan...