Gak ada hujan, gak ada badai, gak
ada banjir, gak ada topan tiba-tiba kecepatan jalanku berkurang seperti bus
tayo yang tiba-tiba diinjak remnya karena sang supir kaget melihat kucing kawin
ditengah jalan.
Siang itu, jam tangan baruku yang
masih kinclong dengan jujur menunjukan pukul 1. Saat dimana sang matahari
sedang galak-galaknya. Tapi, apalah daya. Perut kelaparanku lebih galak dan
menyiksa daripada matahari di ubun kepala. Aku berjalan sendiri menuju tempat
makan yang jaraknya gak sampe 200 meter dari kosan. Berjalan sendirian di siang
bolong demi memenuhi hasrat perut yang tak tahu diri ini. Sampai di tempat
makan aku langsung pesan menu favoritku disitu. Nasi plus ayam bali ditambah
semangkuk sayur sop. Sempurna. Tak sampai 15 menit, pesananku sudah datang
lengkap dengan segelas es teh segar. Suapan pertama, kedua, ketiga semuanya
masih baik-baik saja. Namun, tiba-tiba setiba-tibanya aku menaruh pasangan
sendok garpu yang selalu romantis itu di atas piring nasi yang masih banyak
muatannya. Mataku tiba-tiba menatap tajam pada mangkuk sop yang sedari tadi
anteng dengan kuah panas namun tetap tak bergolak. Aku menghela nafas. Ku rogoh
handphone di saku celanaku dan seperti biasanya, tanpa notifikasi.
Aku tiba-tiba merutuk dalam hati.
Why why question merembet di tiap neuron otakku. Pertanyaan mengapa yang sangat
menyebalkan. Saking menyebalkannya, ia sudah berhasil menghilangkan nafsu
makanku siang itu secara tiba-tiba. Beruntung saraf lapar di perutku masih
belum kehilangan akal sehatnya dan mampu membujukku untuk kembali menyatukan
pasangan sendok garpu itu dan menghabiskan makananku.
Selesai makan aku langsung pulang
dan melanjutkan menuntaskan buku bacaan baru ku yang bahkan kertasnya saja
masih wangi. Tak sampai 20 menit membaca, lagi-lagi aku menaruh buku itu
tiba-tiba dan menatap nanar pada langit-langit kamar. Sesaat kemudian
terciptalah sebuah puisi macam ini ...
Masih dengan langit-langit yang sama
Masih dengan rutinitas yang sama
Tanpa gelombang dinamika
Tanpa bising nada-nada
Begitu diam
Dalam hening mendalam
Begitu tenang tanpa bintang gemintang
Hanya ditemani cahaya redup
Dalam bunyi sayup-sayup
Memang, hari-hari yang penuh kesibukan itu telah
berakhir dan meninggalkan efek samping kegabutan yang maha menyiksa ini. Dua
tahun alisa separuh waktuku di kampus aku habiskan dengan menjadi mahasiswa
sendal jepit yang hobinya “apruk-aprukan” a.k.a jelajah desa. Sebuah kebanggan
saat apa yang aku kerjakan mendapat buah manis dimana ditahun kedua, tim kami
mendapatkan dukungan pendanaan dari kementerian ristekdikti. Tuhan memang tidak
pernah lupa akan setiap perjuangan kita.
Dua tahun tersebut bukan waktu yang singkat. Bukan
masa yang cepat. Dan dari dua tahun itulah aku mulai mengenal dan dekat. Aku
dan Givar adalah dua orang yang dipertemukan dan didekatkan oleh sebuah passion
aneh. We are really passionate on Community. Yap! Aku dan Givar adalah tipe
manusia sosialis yang akan sangat gila jika dibiarkan lama-lama di dalam kamar
SENDIRIAN. Kami sangat berbeda dalam hal akademik. Jelas. Ia di fakultas biru
dan aku di fakultas ungu. Namun, banyak hal yang menjadikan aku dan Givar
dekat. Hobi, gaya, kesukaan dan passion. Kita sama-sama tipe mahasiswa yang
bisa dibilang santai dalam penampilan, tak jarang kita jalan berdua ke mall
dengan bersandal jepit swallow. Aku dan Givar sangat hobi nonton bioskop.
Sampai-sampai tiap awal tahun kita sudah punya list jadwal rilis film. Meski
selera genre film kami kadang berbeda, namun kami selalu mencoba giliran
mengalah satu sama lain. Aku penyuka adventure dan kartun sementara Givar
pecinta Sci-fi dan biopik. Namun dalam urusan makan, selera kita sama. Murah,
dekat, dan banyak. Kami bahkan lebih senang jajan di pinggir jalan daripada
rumah makan. Bagiku, ada sensasi tersendiri.
Hari itu, Givar mengirim pesan
lewat whatsapp yang intinya sudah sangat bisa aku tebak. Dia ngajak nonton.
Oke. Janjian kami tidak pernah ruwet. Simpel. Saling oke satu sama lain. And
then done!
Givar menjemputku H-25 menit dari
jadwal tayang film. It’s enough i guess. Awalnya semua baik-baik saja.
“Lel nonton Black Panther yak?”
“okelah”
Percakapan singkat di depan
gerbang kosanku sebelum kami berangkat. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
Kami berangkat dari kosan menuju
Bioskop yang berjarak sekitar 3 km dari kontrakanku. Sampai di depan sebuah
swalayan motor yang dikendarai Givar sedikit oleng dan aku merasa ada yang
tidak beres,
“Var, motor mu gapapa ?” tanyaku.
“Bentar Lel, coba kita berhenti
dulu.” Jawab Givar sambil memarkir motornya di samping sebuah halte bis.
Setelah beberapa saat mengecek
kondisi motornya, dengan nada sedikit menyesal Givar mengatakannya,
“Lel, ban motornya kempes atau
mungkin bocor. Hmm begini saja, ini kan udah deket ke bioskopnya. Gimana kalau
kamu jalan duluan, aku bawa motor ini ke bengkel di sebrang sana nanti aku
segera nyusul kamu. Kalau udah sampai duluan langsung beli tiketnya aja ya.”
cerocosnya tanpa mempedulikan wajah kesalku.
“Hmmm baiklah, aku jalan duluan.”
Jawabku singkat sambil berjalan menenteng tas dan topinya.
Jarak halte bis ke bioskop memang
tidak terlalu jauh, sekitar 200 meteran. Namun saat itu jam 21.00 dan aku
sangat benci berjalan sendirian di pinggir jalan yang penuh abang-abang ojek
yang kadang suka menganggu. Tanpa khawatir dan menoleh padaku si Givar dengan
santai melenggang menuju bengkel motor di sebrang.
“Mba mau kemana sendirian saja? “
Tanya seorang kernet bis sambil berjalan mengikutiku. Aku sangat risih dan
mempercepat jalanku.
“Mau ke XXI pak.” Jawabku singkat
sambil berlalu menyebrang jalan.
Aku sampai duluan di Bioskop lalu
bergegas menaiki eskalator menuju loket tiket. Sampai di depan loket tiket
sebuah tulisan yang sangat mengecewakan menyambutku yang masih ngos-ngosan.
“Mohon Maaf Tiket “Black Panther”
HABIS”
Seketika aku ingin memarahi
Givar, tapi tidak ada gunanya. Aku duduk menunggu Givar di kursi tunggu. Sesaat
kemudian ia datang dengan tidak kalah ngos-ngosan.
“Gimana Lel, udah dapat
tiketnya?” tanya Givar.
“habis Var!” jawabku singkat
sambil menolehkan kepala pada papan pengumuman sialan itu.
“waduh! Gimana yaa? Kalau nonton
film lain gapapa?” bujuk Givar. Mungkin ia sadar aku sudah sangat kesal hari
itu.
“ya udah, kita ke loket dulu aja
yuk!” ajak Givar. Dia memang paling
sukses dalam urusan membujukku.
Sampai di depan loket, tersedia 3
pilihan film yang sama sekali tak menarik minatku.
Film pertama berjudul Eiffle, I`m
in Love, lalu Film hantu yang sama sekali tak menarik, dan film komedi lokal
Yowis Ben. Aku yakin tidak mungkin Givar mengajakku nonton Eiffel i`m in Love.
“kita nonton yowis ben aja ya?”
tawar Givar.
“ya udah gapapa.” Jawabku
singkat.
Rupanya kesialan hari itu belum
selesai. Sampai diloket, setelah berdebat singkat soal film yang akan ditonton
aku dan Givar memilih tempat duduk. Well, hampir satu bioskop sudah penuh.
Menyisakan 2 tanda hijau yang menandakan kursi masih available. Namun kursi itu
berada di baris ke 1 dan ke 2 dari layar.
“tinggal 2 kursi lagi mba. Mau
diambil ?”
“hmm gaada lagi pilihan lain Lel.
Gapapa yaa ?” bujuk Givar melihatku cemberut.
“ya sudahlah. Daripada kita
pulang lagi, kan lawak ya?” jawabku.
Dan akhirnya malam itu kami
menonton film yang sama sekali tidak direncanakan. Mengalami hal-hal diluar
dugaan dengan perasaan yang sedikit mulai tak bisa dikendalikan. Ada kekesalan,
kejengkelan, namun kembali lagi. Terkadang ketika kita tidak mendapatkan apa
yang kita dapatkan, hal itu merupakan bentuk perlindungan Tuhan akan hal-hal
yang tidak baik bagi kita.
Meski sedikit kecewa namun kami
masih bisa menikmati film komedi tersebut dengan tawa. Kami pulang sekitar
pukul 11 malam. Sebenarnya jam yang masih sangat wajar untuk aku berada diluar
kosan karena seringnya saat adzan subuh menyapa baru aku bertegur sapa dengan
bantal dan guling dikosan.
Kami memutuskan untuk mampir di
warung Burjo dekat kosanku dan memesan sepiring nasi goreng dan mie goreng
dengan telur. Aku yang memang sudah sangat lapar langsung menghabiskan mi
goreng tersebut. Dihadapanku Givar justru masih asik dengan Mobile Legend nya.
Kuraih handphonenya dan mengatakan :
“Var, tau gak sih aku sering
ngeliat orang yang terlalu asyik main gadget itu kayak orang idiot. They are
innocent about their surronding. Take care anything if it has social climbing
value. Kadang aku mikir ajah gadget itu hebat banget, seakan-akan dia
diciptakan untuk mengubah esensi hal-hal seperti komunikasi, membuat janji,
hingga empati.”cerocosku sambil mengangkat-angkat gadgetnya.
“Lel, jangan kebanyakan makan mie
makanya.” Balasnya sambil meraih gadgetnya dari tanganku.
“Vaaar...” jawabku sambil memukul
tangannya.
“gatau kenapa Var aku ngerasa
tiap jalan sama kamu adaaaaa ajah kejadian-kejadian yang bikin aku ngelus dada.
Si Arif pernah bilang katanya aku kalau jalan sama kamu terlalu sering
menderita.” Cerocosku kesal,
“Lel, rasa menderita, kesel,
capek dan sebagainya itu karena kamu melihatnya dari prespektif negatifnya
ajah. Kamu ga nikmati proses kamu tadi jalan kaki sendirian malem-malem di
terminal, atau proses kamu dorong motor ama aku sampe 6 kilo. Coba kalau kamu
nikamti, pas kamu tadi jalan di terminal kamu bisa lihat disitu banyak
anak-anak yang jam segitu masih jajakin koran dilampu merah. Kamu lihat itu,
hati kamu pasti bersyukur karena punya kesempatan buat hidup lebih baik. Kamu
dorong motor ama aku ampe 6 kilo kalau kamu ga ngeluh, kamu nikmatin prosesnya
kamu bisa lihat sepanjang jalan banyak pedagang-pedagang yang cuma modal terpal
ama bambu dan es marimas gopean. Berapa keuntungan mereka dari jualan kayak
gitu? Cukup buat makan keluarganya?... itulah Lel,kadang semua kekecewaan,
kelelahan dan kesedihan itu Cuma presepsi karena kamu mengambil sudut pandang
yang seperti itu. Jadiiii, sekarang kamu jangan kebanyakan makan mie instan ama
sotong ya. Jadi random banget gini kan ngomongnya.” Tutupnya.
“apaan sih Vaaaar...” kataku
masih sinis.
“lho, bener kan apa yang tadi aku
omongin?.. udah sekarang apa-apa jangan dibikin sedih... apa-apanya dibawa
ketawa ajah sampe kesedihan itu nyerah bikin kamu sedih.”
“Var, tumben kamu malem ini
bijak. Hehehe”
“Lel, serius lho bulan depan kamu
yang bayarin nonton gamau tau pokoknya.”
“Aseeem ik” jawabku sambil
memukul pundaknya.
Sebelum masuk ke kosan Givar
masih sempat mengoceh...
“Lel, jangan kapok yaa aku bikin menderita :D” ditutup
dengan senyuman paling manis yang bikin bulu kuduk meringis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar