Minggu, 17 Februari 2019


Heart to Serve

            Seminggu ini sudah 3 kali aku PP Semarang-Kudus. Berangkat pagi buta hingga pulang malam gulita selalu jadi rutinitas yang menjengkelkan (untuk dilihat). Tapi, ada sebuah kekuatan magis yang invisible dan membuat badanku seolah kebal terhadap rasa lelah dan sakit. Rutinitas lain yang harus tetap aku jalani demi passion aneh ku ini adalah sebuah agenda tiap kamis malam. Sebuah ritual penyiapan mental untuk mengatasi dinamika masyarakat yang akan kuhadapi. Sebuah ritual sakral yang karena saking sakralnya membuatku terjaga hingga waktu tahajjud menyapa. Ritual sakral ini adalah salah satu caraku untuk menabur ide-ide gila, memelihara semangat yang mulai diganggu putus asa, menyuburkan motivasi yang layu tanpa aba-aba, dan tentunya untuk menjaga hati agar senantiasa mau melayani.
            Pekerjaan sosial semacam ini bukanlah perkara sulit sebenarnya. Ini hanya tentang membuat ibu-ibu mampu mengolah pisang, menghasilkan produk, bisa dijual dan dapat keuntungan. Disisi lain ini hanyalah perkara tentang membuat kedai, mempromosikan wisata semacam sales-sales handphone, bermain bersama anak-anak, membuat mereka tertawa dan menghasilkan laba. Sederhana saja.
            Serangkaian proses yang menyusun jalan cerita tersebut adalah tentang bagaimana kita merelakan, bagaimana kita mengatur tuntutan kewajiban, dan bagaimana kita menstabilkan hati yang sedang dalam keraguan. Berusaha meyakinkan diri sendiri adalah mantra ajaib yang membuat hati merasa ringan untuk melangkah, tak memperdulikan apakah mereka mendukung atau menyanggah. Initinya bergerak saja.
            Lelah dan bosan adalah penyakit hati yang hanya akan dapat diobati dengan motivasi. Motivasi yang seharusnya datang dari diri sendiri. Bukan karena besar kecilnya materi, apalagi ada atau tidaknya si dia yang kamu cari. Untuk menumbuhkan motivasi permanen, kita perlu mengetahui dosis motivasi yang akan kita gunakan. Karena tidak dipungkiri, motivasi yang overdosis hanya akan memuculkan ledakan ambisi tak terkendali. Intinya ikuti kata hati, saat ia termotivasi, berjalanlah. Saat ia lelah coba beristirahat saja, tapi jangan menyerah. Hati selalu menunjukan sinyal terbaiknya, kapan ia harus duduk santai, kapan ia harus berjalan cepat, dan kapan ia harus lari melesat. Hati itu bisa dilatih, tinggal memilih saja. apakah kamu ingin menjadi hati yang tak peduli atau hati yang melayani?
            Baiklah kawan, kuceritakan padamu sebuah kisah tentang hati yang selalu melayani ini.
Mungkin kamu akan gemas dengan hal ini. Suatu sore, sebuah kepentingan mendesak memaksaku beranjak. Menempuh 2 jam perjalanan Semarang-Kudus, berkendara motor dari mulai senja tiba dan pulang ketika tengah malam menyapa. Jika dijumlah, 4 jam aku habiskan untuk perjalanan pulang-pergi, tidak termasuk kalau ada tragedi ban bocor atau habis bensin. Itu cerita lain lagi. Sore itu aku, bersama salah seorang yang menurutku cukup aneh (juga). Seseorang yang selalu meluangkan waktu untuk tidak hanya membersamaiku, tapi juga membersamai masyarakat. Sebenarnya yang kita lakukan malam itu hanyalah menghadiri rapat rutin mereka dan aku sendiri membantu ibu-ibu mengemasi keripik pisang. Tak jarang di sana kita berjalan sendiri-sendiri, aku membersamai ibu-ibu lugu dan ia membersamai sekumpulan remaja tak banyak gaya. Dia membersamai mereka (remaja Kelompok Sadar Wisata “GEMA”) menyusun proposal, surat undangan dan tek-tek bengek lainnya, yang sebenarnya bisa ia kerjakan sendiri. Tapi disini, kita belajar untuk membuat mereka mandiri dan mampu melakukanya kelak sendiri. Tak jauh beda denganku, malam itu kuhabiskan dengan membantu ibu-ibu membungkus keripik, membersihkan bekas peralatan masak, hingga menemani mereka berdiskusi hingga kantuk tiba. Mungkin untuk mahasiswa kebanyakan, pertanyaan umum yang akan meluncur adalah : “untuk apa sih?”.
Mendengarkan mimpi-mimpi sederhana yang bagiku luar biasa, melihat mereka tertawa, disitulah bahagianya. Bahagia ketika aku menjadi bagian dari mimpi mereka. Disinilah aku belajar. Belajar mendengarkan mimpi dan harapan, menumbuhkan motivasi dan keinginan, hingga pada akhirnya aku mengerti bahwa—untuk menjadi seorang pengabdi masyarakat yang kita butuhkan bukan hanya kecerdasan pemikiran, tapi yang terpenting adalah semangat, motivasi dan hati yang melayani.

Kamis, 14 Februari 2019

Pengorbanan atau penghormatan?
            Selepas kegiatan mengajar selama 2 minggu di Wonosobo, aku menjadi semakin jatuh cinta dengan namanya kegiatan sosial. Aku masih ingat, saat itu aku memasuki semester 4 perkuliahan. Semester yang cukup sibuk karena dalam seminggu aku berhadapan dengan 17 sks dikali 2, 34 sks dalam seminggu! Meski semester lalu IP ku terjun bebas, aku tak pernah berfikir bahwa itu karena kegiatan-kegiatan yang aku ikuti. Di semester super sibuk ini, aku memutuskan untuk bergabung di sebuah organisasi tingkat kampus yang cukup keren. Sebut saja BEM. Bidang Sosial Masyarakat adalah pilihanku, hatiku mantap ketika mengklik pilihan tersebut di formulir online. Sosial Masyarakat adalah nasibku disini.
            Awalnya sedikit kurang percaya diri, namun lingkunganku inilah yang membentukku menjadi lebih berani. Berani pulang lebih malam, berani berpetualang lebih jauh, berani bertemu lebih banyak orang, dan tentunya berani memilih lebih tepat.
            Pernah kalian bayangkan? Kamu mahasiswa, yang akan lebih wajar jika keseharianmu adalah kuliah, mengerjakan tugas, kerja kelompok, ikut lomba, penelitian dan seabreg akademik lainnya. Namun, semenjak disinilah aku mulai merasa ada yang tidak wajar dengan diriku. Akademikku memang tidak terlalu buruk, bahkan bisa dibilang cukup membuat orangtua ku mengangkat dagu. Bukannya memilih jadi mahasiswa jenius di laboratorium, pemegang suara di forum, atau bahkan jadi penyumbang prestasi nan harum. Tidak, aku memilih untuk menjadi versi lain dari semua itu. Aku malah lebih tertarik menjadi pendengar mimpi-mimpi, teman bermain anak-anak yang kehilangan, menjelajahi sudut-sudut pedesaan, bertemu sapa dengan manusia-manusia baru, menghabiskan waktu dengan bercerita dan tertawa, hingga membawa mereka miliki mimpi besar bersama.
            Jika mahasiswa umumnya kuliah di ruang kelas ber AC, di Sosial Masyarakat aku mendapat kuliah tambahan 3 sks tentang pemberdayaan masyarakat mulai pukul 21.00-03.00 pagi. Dilanjutkan dengan praktek langsung tiap sabtu atau minggu dengan menempuh 2 jam perjalanan untuk menuju lokasi eksekusi. Itu semua kulakukan setiap minggu, aku sudah menggadaikan hari-hari liburku demi passion aneh ini.
            Jika mahasiswa umumnya nongkrong di Cafe atau Mall, di sini tempat nongkongku tak lain adalah sebuah joglo kecil dikelilingi rumput liar tak tahu malu dan 11 petak kolam ikan kesepian, terletak di belakang sebuah bangunan SD yang tak lagi dipakai, terbengkalai. Tempat nongkrongku adalah sebuah dapur kecil dengan tumpukan kayu bakar di samping kandang kambing lengkap dengan sebuah pohon pete di sampingnya.
            Jika mahasiswa umumnya weekend liburan di pantai atau camping di gunung. Disini, weekend ku adalah mengecat tembok SD yang sudah hampir runtuh, menghias sebisanya, memangkas rumput liar di halaman, menyulap ban-ban bekas menjadi meja, menggoreng ubi sampai pukul 2 pagi, mengatur outbond bocah-bocah TK, atau bahkan menggulung rumput kolam.
            Jika mahasiswa umumnya pergi “me time” saat lelah atau bosan. Disini, lelahnya perjalanan kusandarkan sejenak di musholla Pom Bensin pinggir jalan, berlindung dari hujan di emperan toko, lalu beranjak pulang ditemani rembulan.
            Jika mahasisiwa umumnya stress berat menghadapi ujian semester, disini stress ku adalah saat menghadapi manusia-manusia yang mulai kehilangan semangat, ragu akan perubahan sampai hampir menyerah di tengah jalan.
            Semua hal diatas, kuliah, waktu bersantai, berlibur, me time dan segala tek-tek bengek nya hanya beberapa bagian dari sekian banyaknya “Pengorbanan” demi sebuah passion aneh yang tak wajar ini. Namun, presepri tentang pengorbanan tersebut seketika berubah.
            Saat semua itu aku anggap sebagai sebuah pengorbanan, ada sebuah rasa lelah dan marah tanpa sudah. Lelah—untuk apa ini semua, marah—kenapa harus ku korbankan semua itu. Prespektif pengorbanan hampir membuatku berhenti. Sebelum akhirnya aku bertemu sosok inspiratif yang mengubah semua stigmaku tentang pengorbanan. Beliau adalah seorang Dosen, Teman, sekaligus resosok penasehat yang mengajarkanku tentang bagaimana seharusnya aku memandang semua ini. Pertemuan dengan beliau membawaku memahami lebih jauh tentang arti passion anehku ini. Bukan hanya sekedar ketidakwajaran yang menyenangkan, namun aku kemudian memahami bahwa : “Pengabdian itu bukan pengorbanan, Pengabdian adalah sebuah penghormatan”. Oke kawan, Passion anehku itu bernama Pengabdian.

Jalan-jalan Ala Mahasiswa Setengah PNS Part 2

  Selepas isya, Aku, Apip dan Mas Azmi berjanji bertemu di depan minimarket dekat kosanku. Apip sudah siap dengan tas jinjing berisi laporan...