Sabtu, 07 November 2020

Jalan-jalan Ala Mahasiswa Setengah PNS Part 2

 

Selepas isya, Aku, Apip dan Mas Azmi berjanji bertemu di depan minimarket dekat kosanku. Apip sudah siap dengan tas jinjing berisi laporan kelompok ku dan Kholis. Jam tangan menunjukan pukul 19.30 saat itu mas Azmi yang memesan taxi online untuk kami menuju stasiun. Malam itu hujan baru saja reda, saat sudah didalam mobil sang supir menanyakan jadwal keberangkatan kereta kami. Kereta kami berangkat pukul 20.10 yang artinya kami punya waktu sekitar 40 menit. Kata sang supir beberapa ruas jalan terjadi kemacetan karena ada genangan. Ia menawarkan untuk melalui jalur tol guna mempercepat waktu. Kami menyetujui dengan memberikan tambahan fee kepadanya.

Sampai stastiun kami langsung cetak tiket, boarding dan naik kedalam rangkaian kereta. Tak sampai 15 menit kereta kami langsung berangkat menuju tujuan akhir stasiun pasar senen. Perjalanan malam itu menghabiskan waktu selama ± 7 jam. Kami sempat mengobrol sebentar sebelum akhirnya sibuk dengan makan malam masing –masing lalu kemudian terlelap.

Pukul 03.40 kami sampai di stasiun pasar senen. Kami beranjak menuju musholla untuk sholat subuh. Selesai sholat subuh sekitar pukul 5 kami berdiskusi sebentar didepan musholla. Waktu masih sangat pagi, kami memutuskan untuk mencari sarapan disekitar kawasan kantor Dikti yang ternyata bersebrangan dengan area Glora Bung Karno. Mas Azmi memesan taxi online untuk mengantar kami dari stasiun senen menuju senayan. Mungkin bapak supir nya heran, jam 5 subuh ngapain ada yang order ke kantor Dikti :D Aku duduk didepan bersama pak supir sementara Apip dan Mas Azmi dibelakang. Percakapan ringanpun dimulai ...

“ini mas-mas mba nya dari mana ?”

“kami dari Semarang Pak.”

“walah jauh-jauh ada kegiatan apa ini mba?”

“kami mau ke Dikti buat nganter laporan kegiatan pak.”

“ini baru setengah 6 lho mba, nanti disana belum buka juga pasti. Ini nanti turunnya tepat di kantor Diktinya ?”

“iyah pak nanti kami turun dikantor diktinya saja ndapapa”

Saat itu aku menyalakan ponsel dan membuka instagram. Dari dalam mobil aku merekam story perjalanan yang saat itu melewati jalan yang kiri kanannya gedung-gedung pencakar langit. Daaan terceletuklah candaan mas Azmi,

“Iki cah biasane ngubek2 desa saiki main ke kota (ini anak biasanya muter2 di desa sekarang main ke kota), maklum yah pak.”

“haha, gapapa mas. Sekali-kali kita harus melihat dunia dengan sisi  berbeda.” Aku menjawab sok bijak.

Dan benar saja, kami sampai di depan kantor Dikti disambut rintik gerimis tipis yang cukup buat rambut Apip dan Mas Azmi klimis-klimis. Kami bingung beberapa saat karena kantor dikti jelas-jelas belum buka dan disekitar situ adalah area perkantoran yang sulit banget nyari warung atau tongkrongan untuk menghabiskan waktu. Aku yang clingak-clinguk mendapati beberapa orang bergerombol dibelakang kantor dikti dan sepertinya mereka adalah karyawan kantor yang sedang mencari sarapan. Benar saja, saat kami mencoba beranjak dan mendekati kerumunan kecil tersebut disitu ada seorang ibu yang menjual nasi uduk. Ojeh Klop! Kami memesan 3 porsi nasi uduk, lengkap dengan telur dadar dan teh manis hangat di gelas plastik. Kami makan disitu. Tapi, eitssss si ibu tidak menyediakan tempat duduk atau tikar sehelaipun L jadi mau tidak mau kami makan sambil duduk ditrotoar pinggir jalan, persis gembel. Untung kami masih pakai jaket dan sepatu serta tas lengkap. :D jalanan sekitar masih cukup sepi, ditemani gerimis yang masih manis kami menikmati nasi uduk sampai habis.

Selesai dengan acara sarapan, Apip mengajak kami untuk beranjak melihat-lihat stadion GBK yang kebetulan berada tepat di sebrang kantor dikti. Okay, why not.

Kami masuk halaman GBK dan beruntungnya langsung menemukan masjid. Sebuah tempat yang selalu menjadi pilihan singgah saat kaki belum menentukan arahnya melangkah. Cuaca pagi yang ditemani gerimis manis rupanya sangat cocok untuk istirahat. Kurang ajarnya, mereka tidur dipelataran masjid dan membiarkan aku menjaga barang-barang kami sendirian. Saat jam tangan menunjukan pukul setengah 8 aku membangunkan mereka dan menyuruh mereka bersiap. Apip tiba-tiba berinisiatif mandi pagi dulu di kamar mandi masjid.

“mau ketemu orang dikti masa ga mandi dulu?:D” katanya.

Baiklah, aku menunggu mereka berdua mandi. Lagipula mereka juga butuh ganti baju karena dari semarang mereka hanya pakai kaos dan jaket. Khawatir sampai dikti malah diusir. Wkwkw

Kami kembali ke kantor dikti dan menuju resepsionis kemudian mendapatkan kartu tanda pengunjung untuk bisa mengakses lingkungan dikti. Kami kemudian naik ke lantai 5 gedung dikti untuk bertemu Pak Yusman. Setelah hampir setengah jam menunggu sambil menyaksikan kesibukan orang berlalu lalang akhirnya kami bertemu dengan beliau. Senangnya, Pak Yusman ternyata bukan sosok pegawai yang terlalu to the point, sebelum kami menyerahkan laporan tersebut beliau mengajak kami berdiskusi ringan tentang PHBD dan kehidupan di dikti, sampai rencana kami selama di Jakarta mengingat kami datang jauh-jauh dari Semarang.

“Mba, ini pak dosennya?” tanya pak Yusman padaku.

“hehe ini teman saya pak, mas Azmy.” Jawabku.

“walaah, saya kira bapak dosen karena sekilas sudah mirip pak dosen ini mas nya.” Seloroh beliau.

Kami kemudian berbincang sampai hampir setengah jam sebelum akhirnya serah terima laporan yang ditutup dengan kegiatan utama yakni foto-foto alias dokumentasi. Sebelum pamit, beliau masih menawarkan kami untuk lihat-lihat di kantor dikti. Namun, karena jadwal kereta kami jam 3 sore nanti jadi kami memutuskan untuk langsung pamit agar sempat mampir ke lokasi lainnya.

Ada Sebuah janji yang harus kutunaikan adalah foto di depan logo kemenristekdikti. Haha meski jam kantor sudah mulai dan mobil keluar masuk kami tetap santai jepret-jepret di depan kantor dikti.

Sebelum memutuskan hendak beranjak kemana setelah itu, kami jalan-jalan sebentar dibagian luar stadion GBK. Saat itu, sedang hype-hype nya ajang Asean Games jadi suasana GBK memang lebih meriah dari biasanya. Tidak sampai satu jam kami jalan-jalan di GBK karena hari sudah mulai panas, kami memesan taxi online menuju masjid istiqlal. Hari itu hari jum`at, Apip dan mas Azmi harus melaksanakan sholat Jum`at.

Kami menuju masjid Istiqlal untuk melaksanakan sholat sekaligus makan siang disekitar situ. Jalanan hari itu cukup padat dan bisa dibilang hampir macet. Sesuatu yang biasa di jakarta namun agak jarang terjadi di Semarang. Hehe

“Ini emang udah mulai macet ya pak?” tanyaku pada pak supir.

“iyah mba, ini juga kan bentar lagi 2 desember to? Udah mulai ada massa juga yang bergerak buat reuni di monas.” Jelas si bapak.

“oalaah pantesan ya pak, hehe”

“ini masih tanggal 30 November ajah udah rame gini mba, kalau besok mungkin beberapa jalan menuju monas udah di tutup gabisa kemana-mana pasti mba nya. Mba nya gak ada rencana nginep di sini dulu kan?” tanya si bapak.

“engga sih pak, tadinya mau nginep tapi syukurlah kita gak jadi nginep pak ini nanti jam 3 langsung pulang ke Semarang.” Jelasku.

Kami sampai di masjid Istiqlal saat waktu masih menujukan pukul 10. Sebelum sholat jumat aku mengajak mereka untuk makan siang terlebih dulu disekitar masjid. Kami jalan kaki di bagian luar pagar utama masjid istiqlal dan mendapati banyak pedagang beraneka ragam pernak pernik mulai dari tasbih sampai topi berlafadz kalimat-kalimat suci. Kami hanya berjalan sambil lihat kanan kiri yang penuh keramaian.

Tak lama kami menemukan jajaran PKL dibawah jalur KRL. Salah satu pedagang menarik perhatian mataku dengan tulisang “Ayam Goreng Sambel Gledek”. Haha sepertinya ini akan terasa seperti kesamber gledek disiang bolong. :D

Makan siang dibawah rek kereta KRL dengan menu Ayam Goreng Sambel Gledek ditemani backsound suara kereta yang lewat benar-benar seperti suara gledek. Berkali-kali aku mengira bahwa hari akan hujan. Sambil sibuk mengusap kening yang berkeringat deras karena memang sambelnya bener-bener bikin lidah kesamber gledek :D

Setelah selesai dengan acara makan, kami kembali ke area masjid untuk sholat jumat dan sholat dzuhur. Tentu saja, saat sholat jumat aku menunggu mereka di teras masjid sambil menjaga tas-tas besar mereka. Sholat jumat hari itu memang tidak seperti biasanya, barisan tentara berseragam hijau memenuhi hampir seluruh teras masjid. Aku yang sedari tadi menunggu disitupun berangsur menggeser tempat duduk sampai akhirnya terpojok di dekat kotak amal menuju tempat wudhu. Mengenaskan. Wkwkw.

Ada pemandangan yang aku tangkap, selain banyak tentara berbaju hijau, peserta unjuk rasa berseragam putih-putih, ibu-ibu bercadar, dan sebangsanya, aku melihat banyak penjual plastik kresek. Mayoritas kakek-kakek sepuh. Mereka menawarkan plastik seharga 2000 rupiah kepada jemaah sholat jumat untuk menaruh sepatu atau sendal mereka selama sholat. Impressive! Jujur, aku lebih senang melihat orang-orang yang berjualan keresek atau malah sekedar memungut koran bekas yang ditinggalkan jemaah sholat ied, daripada pengemis yang meminta-minta dengan kondisi fisik yang masih bugar, bermodal baju sobek dan bungkus permen, meminta-minta tanpa melakukan apapun. Nonsense menurutku. Tidak mendidik dan tidak baik bagi mentalitas manusia. Mungkin aku dikira jahat dan sebagainya, tapi tak apa, itu pandanganku kawan.

Selesai mereka sholat jumat, giliranku untuk menunaikan sholat dzuhur. Setelah selesai dengan acara sholat, kami berjalan kaki menuju monumen nasional yang jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari istiqlal.

Perjalanan ini kami tutup dengan jalan-jalan di monas, ditengah hari yang panas, ditemani pemandangan jakarta yang ganas. Kami sampai di Semarang disambut dengan sebuah lagu yang sangat epic... Lemon Tree dari Fools Garden. Mantap!!

Jalan-Jalan Ala Mahasiswa Setengah PNS Part 1

 


Seperti biasanya, kamis malam adalah waktuku untuk kembali menabur ide-ide gila demi memenuhi passion anehku. Demi menjaga semangat menempuh jalan ninjaku dalam pengabdian masyarakat. Jam 9 malam teng kakiku sudah mendarat dipelataran belakang rumah Dosen Kesayangan yang sangat rajin memberiku pekerjaan, haha. Tapi, aku menikmati dan justru kecanduan akan hal tersebut. Agenda malam itu adalah menyelesaikan laporan akhir Program Hibah yang kami dapatkan dari Kemenristekdikti untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ditemani 4 orang anggota tim, laptop dan hotspot internet aku mulai membuka inbox email. Daaaaan, reaksiku biasa saja awalnya melihat email masuk dari Belmawa Dikti saat itu.

“Mas, ada email masuk ke saya dari Dikti.” Kata saya pada Mas Daud alias Pak Daud Samsudewa, Ph.D dosen pembimbing sekaligus motivator terbaik saya selama mengarungi jalan ninja ini.

“Apa isinya Lel?” Tanya Mas Daud.

Ku buka email tersebut, kubaca dengan sepenuh hati, kuperhatikan penulisannya barangkali ada typo atau salah ketik, kubaca dalam hati, kubaca kembali dengan suara pelan, daaaan aku menyerah pada mata ku sendiri. Tertulis dengan sangat jelas dan terang benderang bahwa : pengumpulan laporan akhir tersebut adalah 30 November 2018 dan saat aku membaca email tersebut adalah tanggal 27 November 2018 yang artinya waktu kami untuk menyelesaikan laporan tersebut kurang dari 3 hari lagi. Sementara laporan tersebut baru selesai sekitar 70% alias masih 30% lagi yang belum dikerjakan. Gawatnya bagian yang belum dikerjakan adalah bagian laporan penggunaan dana hibah senilai 35 juta. Banyak hal yang menjadi kendalaku dalam menyelesaikan bagian tersebut. Kalian bayangkan saja, nilai yang harus kami laporkan penggunaannya adalah 35 juta. Sementara, fresh money yang baru masuk di rekening kami adalah 28 juta alias (70% nya). Uang sisa senilai 7 juta (30%nya) akan kami terima ketika telah menyelesaikan laporan akhir ini. Sedikit absurb. Tapi, begitulah sistemnya kawan.  Aku sudah bergelut dengan sistem semacam ini sejak semester 4. Parahnya, dari uang 28 juta yang telah kami terima baru sekitar 11 juta yang kami gunakan, belum ada setengahnya. Kenapa kami begitu hemat ? Emmmh tidak, lebih tepatnya kami mengelolanya dengan efektif. Prinsipnya sederhana, alokasikan dana sesuai peruntukannya.

“Mas, ini email katanya laporan akhir harus diterima dikti paling lambat 30 November ini. Harus dikirim ke kantornya Dikti.” Kataku

“Laporanmu sudah sampai mana?” tanya Mas Daud balik.

“tinggal laporan keuangan mas. Bagian pendahuluan, logbook kegiatan dan isian-isian lainnya sudah saya kerjakan.” Jawabku.

“ya sudah kamu selesaikan laporan keuangannya. Masalah diantarnya nanti saya sounding-kan ke pak Tumin (Staff Minarik di Rektorat).”

“Hmmm, tapi mas ini kan harus laporan penggunaan dana 35 juta. Tapi dana yang baru kita pakai kan belum sampai segitu. Gimana mas?”

“Lho, bukannya dulu sudah saya ajarkan. Kamu buat nota sendiri untuk mengisi laporan. Tapi, kamu sendiri harus punya catatan khusus tentang penggunaan dana REAL nya. Pennggunaan dana per tanggalnya. Paham ?

“paham mas.”

Jam tangan ku sudah menunjukan pukul 11 malam. Waktu diskusi kami dihabiskan dengan membahas persiapan kegiatan festival akhir tahun di Desa Mitra kami.

“Dek, malem ini kita kerjakan laporannya yah bareng.” Tanyaku pada Anis. Salah satu volunteer yang paling dekat dan mendapat kepercayaan lebih dariku untuk mengelola keuangan ini. Bisa dibilang dia bendaharanya.

“iyah mba. Sekalian nginep ajah yah dirumahku.” Kata Anis

“gapapa nginep nih??”

“iyah mba, dirumahku juga ada printer. Biar lebih enak ngerjakannya.”

“Ojeh gas!!”

“kalian pulang sekarang saja, kerjakan laporan keuangannya, nanti kalau ada masalah atau kekurangan besok pagi ketemu saya di Laboratorium lantai 2.” Kata Mas Daud.

Pukul 11.30 malam kami pulang. Malam itu aku tidak pulang ke kosan. Aku menginap di rumah Anis yang jaraknya hampir 10 km dari kosanku. Tengah malam, dua orang cewek naik motor melewati jalan sepi menurun dan berbelok sudah hal biasa bagiku. Itu baru jam 12 malam. Aku lebih sering dibawa ugal-ugalan oleh Akhyar (rekan ninjaku) karena sudah pukul 2 malam baru pulang dari Kudus. Kami tidak takut sama kuntilanak sebenarnya, kami lebih takut dengan gerombolan berkampak a.k.a begal. Tapi, selama niat kita baik, insyaallah selalu dalam lindunganNya.

Kami sampai dirumah Anis sekitar setengah satu malam. Malu aku dengan ibunya Anis gara-gara aku Anis jadi sering pulang malam. Tapi ternyata Anis sering lebih ekstrem lagi dengan menginap di kampus. Nyatanya saat dikampus, “kehidupan malam” lebih menyenangkan dan hidup. Haha.

Sampai dikamar Anis kami langsung beraksi. Printer dinyalakan, 2 laptop dibuka, draft laporan digelar, buku catatan, ballpoint dan gerombolannya keluar dari sarang. Aku mengerjakan draft laporan keuangan itu di Ms.Excel sementara Anis mengerjakan nota-nota di laptop dan segera mencetaknya. Mesin printernya malam itu dipaksa bergadang menemani 2 mahasiswa kurang kerjaan yang tengah dikerjar deadline laporan. Potongan kertas di sana-sini memenuhi kamar Anis. Jam dinding menunjukan pukul 3 dini hari. Mataku sama sekali tak merasakan ngantuk namun kepalaku berdenyut-denyut karena dipaksa melanggar jam biologisnya. Anis menawarkan semangkuk mi rebus dengan sayuran dan beberapa toples cemilan. Aku tak menolaknya. Cadangan glukosaku perlu di re-charge agar pembuluh darahku tetap mengalirkan darah menuju otakku yang saat itu sedang sibuk dan tegang dibawah tekanan. Hmm, baiklah kawan ini adalah salah satu bentuk “menyakiti diri sendiri” namun tanggung jawab adalah keharusan yang mesti ditunaikan. Bijaklah dalam menggunakan waktu. Oke? J

Selesai dengan urusan makan dan nyemil kami langsung tancap gas kembali mengerjakan laporan. Sampai akhirnya adzan subuh menggerakan kami melangkah menuju keran disamping taman kecil untuk berwudhu dan sholat subuh. Aku merasakan pening dikepalaku saat sujud, namun ada perasaan lain yang juga membuatku betah berlama-lama sujud. Ada perasaan tenang, nyaman, dan damai yang seketika men-Tone Down neuron-neuron dikepalaku. Selesai sholat subuh kami mulai merapihkan kertas-kertas dan menyusun nota-nota tersebut kedalam halaman laporan.

“Dek kamu hari ini kuliah jam berapa?” tanyaku pada Anis yang sepertinya sudah siap-siap tumbang didekapan bantal.

“jam 7 mba. Nanti jam 6 bangunin aku yah. Aku mau tidur sebentar.”

Kasihan aku melihatnya. Namun, dia tetap selalu ada membantuku bahkan ketika anggota lain tak ada yang sedikitpun menanyakan jobdesc nya. Haha. Hal yang biasa bagiku.

Setelah selesai merapihkan draft laporan, akupun merebahkan badanku diatas matras dan berusaha memejamkan mata meskipun aku tahu itu takkan lama. Alarm ku setting di pukul 05.45, tidak ada satu jam aku tidur. Tak apa. Hal seperti itu sudah jadi biasa semenjak aku menekuni jalan ninja ini. Begadang adalah rutinitas. Jadi jangan heran kalau ada waktu luang aku akan mengalokasikannya untuk “hibernasi” bersama bantal dan guling dikamar. :D

Kami berangkat ke kampus pukul 06.30, tanpa sarapan sebelumnya meskipun saat itu ibunya Anis memaksa kami untuk sarapan. Anis mengantarku ke kosan sebelum ia berangkat ke kampus. Hari itu kebetulan jadwal kuliahku tidak terlalu padat. Hanya ada dua mata kuliah di siang-sore nanti. Sampai dikosan aku bergegas mandi dan berangkat ke kampus. Bukan untuk kuliah kawan. Aku ke kampus untuk menyelesaikan laporan ini. Aku berangkat menuju kantor minarik rektorat bersama Kholis (Ketua Tim kelompok lain yang tahun itu sama-sama mendapatkan dana hibah dan kebetulan dosen pembimbing kami sama-sama Mas daud) Klop!

Agenda kami diminarik hari itu adalah untuk meminta izin sekaligus saran terkait pengiriman laporan akhir yang harus diterima Dikti maksimal tanggal 30 itu. Kami bertemu Pak Tumin. Sosok birokrat yang asik dan sangat kooperatif dengan kegiatan kami. Tak pernah merepotkan berlebihan dan justru melakukan hal yang seharusnya kami lakukan. The best staff ever lah pokoknya.

Pak Tumin tidak yakin jika ada dari pihak minarik bisa mengirimkan laporan tersebut mengingat saat itu pihak rektorat sedang disibukan acara pemilihan mahasiswa berprestasi. Selain itu, jika menggunakan jasa pos atau agen pengiriman lainnya khawatir ada kerusakan atau keterlambatan. Finally, pak Tumin memberikan saran agar kami saja yang berangkat ke dikti untuk mengantar laporan tersebut. Hari itu juga surat tugas dan pengantar dari kampus sudah ditangan kami. Setelah selesai dengan urusan perizinan aku dan Kholis meluncur menuju laboratorium untuk bertemu Mas Daud. Melaporkan progres laporan sekaligus meminta izin untuk mengirimkan sendiri laporan tersebut ke dikti.

“Ya sudah kalau dari pak Tumin sudah menyarankan demikian kalian tinggal selesaikan kekurangannya malam ini nanti besok pagi ketemu saya untuk saya cek sebelum kalian copy. Masalah nanti yang berangkat siapa kalian atur sendiri. Untuk pendanaan beli tiket dan sebagainya pakai dana yang ada untuk alokasi transportasi. Clear?”

“oke mas, clear.”

Malam itu, sejak Ba`da isya aku ditemani Haris dan Apip (rekan organisasiku) menyelesaikan laporan tersebut hingga larut malam. Selain sibuk dengan urusan nota dan laporan, aku juga sibuk berkomunikasi dengan Mas Azmi (FYI dia ini satu angkatan denganku, aku memanggilanya Mas karena kami baru kenal dan supaya lebih sopan saja hehe) yang akan menemaniku ke dikti sebagai perwakilan dari timnya Kholis.

Kami berdiskusi tentang mau naik kereta apa? Jam berapa? Hingga masalah mau nginap dulu atau langsung pulang. Setelah berdiskusi cukup panjang terkait menginap atau langsung pulang aku memesan tiket kereta untuk kami berdua. Aku memesan tiket kereta api Tawang Jaya Premium dari Semarang Tawang ke Pasar Senen (08.40-04.20) kelas ekonomi senilai 200.000,-/orang. Tiba-tiba Apip yang dari tadi diam dan asyik dengan pekerjaannya nyeletuk,

“Lel, aku nda (tidak) diajak nih?” tanyanya sambil tertawa kecil.

“hmm, kamu mau ikut tho Pip?”

“yah kalau boleh. Bosen lah aku tiap minggu ke Kudus mulu. Sekali-kali pingin ngerasin main ke kota.”

“ya udah, ini aku udah pesen 2 tiket buat aku sama mas Azmi. Kamu pesen sendiri gapapa? Nanti uangnya aku transfer atau nanti aku bayar sekalian.” Jawabku yang disambut ekspresi bahagianya yang sangat kentara.

“oke Lel, kamu di gerbong berapa? Seenggaknya kita satu gerbong.”

“aku di gerbong 4.”

Urusan tiket dan jadwal keberangkatan serta schedule saat di Jakarta nanti sudah selesai. Malam itu juga ku kirim file Pdf laporan akhir ke email Apip untuk diprint dan dijilid.

Besok paginya, aku dan Apip serta Kholis sudah janjian untuk meminta tandatangan dari pembimbing kami Mas Daud untuk halaman pengesahan dan logbook. Taukah kalian kawan? Satu tandatagan beliau harus diganti dengan satu kali nyanyi Mars dan Hymne Undip. Hal tersebut bukan tanpa alasan, kata beliau itu dilakukan agar jangan sampai mahasiswa Undip sendiri lulus tidak tahu dasar-dasar dan cita-cita Universitasnya yang tertuang dalam nada-nada sakral tersebut.

Hari itu aku harus mendapatkan 3 tandatangan beliau untuk 3 rangkap laporan yang artinya aku harus menyanyikan 3x mars dan hymne Undip. Namun, karena beliau tahu kami sudah sangat bekerja keras untuk menyelesaikan laporan tersebut kami hanya diminta menyanyikannya sekali saja. Oke Good Job!

Kamis, 27 Februari 2020

Sometimes we only need to laught at Life it self



Gak ada hujan, gak ada badai, gak ada banjir, gak ada topan tiba-tiba kecepatan jalanku berkurang seperti bus tayo yang tiba-tiba diinjak remnya karena sang supir kaget melihat kucing kawin ditengah jalan.
Siang itu, jam tangan baruku yang masih kinclong dengan jujur menunjukan pukul 1. Saat dimana sang matahari sedang galak-galaknya. Tapi, apalah daya. Perut kelaparanku lebih galak dan menyiksa daripada matahari di ubun kepala. Aku berjalan sendiri menuju tempat makan yang jaraknya gak sampe 200 meter dari kosan. Berjalan sendirian di siang bolong demi memenuhi hasrat perut yang tak tahu diri ini. Sampai di tempat makan aku langsung pesan menu favoritku disitu. Nasi plus ayam bali ditambah semangkuk sayur sop. Sempurna. Tak sampai 15 menit, pesananku sudah datang lengkap dengan segelas es teh segar. Suapan pertama, kedua, ketiga semuanya masih baik-baik saja. Namun, tiba-tiba setiba-tibanya aku menaruh pasangan sendok garpu yang selalu romantis itu di atas piring nasi yang masih banyak muatannya. Mataku tiba-tiba menatap tajam pada mangkuk sop yang sedari tadi anteng dengan kuah panas namun tetap tak bergolak. Aku menghela nafas. Ku rogoh handphone di saku celanaku dan seperti biasanya, tanpa notifikasi.
Aku tiba-tiba merutuk dalam hati. Why why question merembet di tiap neuron otakku. Pertanyaan mengapa yang sangat menyebalkan. Saking menyebalkannya, ia sudah berhasil menghilangkan nafsu makanku siang itu secara tiba-tiba. Beruntung saraf lapar di perutku masih belum kehilangan akal sehatnya dan mampu membujukku untuk kembali menyatukan pasangan sendok garpu itu dan menghabiskan makananku.
Selesai makan aku langsung pulang dan melanjutkan menuntaskan buku bacaan baru ku yang bahkan kertasnya saja masih wangi. Tak sampai 20 menit membaca, lagi-lagi aku menaruh buku itu tiba-tiba dan menatap nanar pada langit-langit kamar. Sesaat kemudian terciptalah sebuah puisi macam ini ...
Masih dengan langit-langit yang sama
Masih dengan rutinitas yang sama
Tanpa gelombang dinamika
Tanpa bising nada-nada
Begitu diam
Dalam hening mendalam
Begitu tenang tanpa bintang gemintang
Hanya ditemani cahaya redup
Dalam bunyi sayup-sayup

Memang, hari-hari yang penuh kesibukan itu telah berakhir dan meninggalkan efek samping kegabutan yang maha menyiksa ini. Dua tahun alisa separuh waktuku di kampus aku habiskan dengan menjadi mahasiswa sendal jepit yang hobinya “apruk-aprukan” a.k.a jelajah desa. Sebuah kebanggan saat apa yang aku kerjakan mendapat buah manis dimana ditahun kedua, tim kami mendapatkan dukungan pendanaan dari kementerian ristekdikti. Tuhan memang tidak pernah lupa akan setiap perjuangan kita.

Dua tahun tersebut bukan waktu yang singkat. Bukan masa yang cepat. Dan dari dua tahun itulah aku mulai mengenal dan dekat. Aku dan Givar adalah dua orang yang dipertemukan dan didekatkan oleh sebuah passion aneh. We are really passionate on Community. Yap! Aku dan Givar adalah tipe manusia sosialis yang akan sangat gila jika dibiarkan lama-lama di dalam kamar SENDIRIAN. Kami sangat berbeda dalam hal akademik. Jelas. Ia di fakultas biru dan aku di fakultas ungu. Namun, banyak hal yang menjadikan aku dan Givar dekat. Hobi, gaya, kesukaan dan passion. Kita sama-sama tipe mahasiswa yang bisa dibilang santai dalam penampilan, tak jarang kita jalan berdua ke mall dengan bersandal jepit swallow. Aku dan Givar sangat hobi nonton bioskop. Sampai-sampai tiap awal tahun kita sudah punya list jadwal rilis film. Meski selera genre film kami kadang berbeda, namun kami selalu mencoba giliran mengalah satu sama lain. Aku penyuka adventure dan kartun sementara Givar pecinta Sci-fi dan biopik. Namun dalam urusan makan, selera kita sama. Murah, dekat, dan banyak. Kami bahkan lebih senang jajan di pinggir jalan daripada rumah makan. Bagiku, ada sensasi tersendiri. 

Hari itu, Givar mengirim pesan lewat whatsapp yang intinya sudah sangat bisa aku tebak. Dia ngajak nonton. Oke. Janjian kami tidak pernah ruwet. Simpel. Saling oke satu sama lain. And then done!
Givar menjemputku H-25 menit dari jadwal tayang film. It’s enough i guess. Awalnya semua baik-baik saja.
“Lel nonton Black Panther yak?”
“okelah”
Percakapan singkat di depan gerbang kosanku sebelum kami berangkat. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
Kami berangkat dari kosan menuju Bioskop yang berjarak sekitar 3 km dari kontrakanku. Sampai di depan sebuah swalayan motor yang dikendarai Givar sedikit oleng dan aku merasa ada yang tidak beres,
“Var, motor mu gapapa ?” tanyaku.
“Bentar Lel, coba kita berhenti dulu.” Jawab Givar sambil memarkir motornya di samping sebuah halte bis.
Setelah beberapa saat mengecek kondisi motornya, dengan nada sedikit menyesal Givar mengatakannya,
“Lel, ban motornya kempes atau mungkin bocor. Hmm begini saja, ini kan udah deket ke bioskopnya. Gimana kalau kamu jalan duluan, aku bawa motor ini ke bengkel di sebrang sana nanti aku segera nyusul kamu. Kalau udah sampai duluan langsung beli tiketnya aja ya.” cerocosnya tanpa mempedulikan wajah kesalku.
“Hmmm baiklah, aku jalan duluan.” Jawabku singkat sambil berjalan menenteng tas dan topinya.
Jarak halte bis ke bioskop memang tidak terlalu jauh, sekitar 200 meteran. Namun saat itu jam 21.00 dan aku sangat benci berjalan sendirian di pinggir jalan yang penuh abang-abang ojek yang kadang suka menganggu. Tanpa khawatir dan menoleh padaku si Givar dengan santai melenggang menuju bengkel motor di sebrang.
“Mba mau kemana sendirian saja? “ Tanya seorang kernet bis sambil berjalan mengikutiku. Aku sangat risih dan mempercepat jalanku.
“Mau ke XXI pak.” Jawabku singkat sambil berlalu menyebrang jalan.
Aku sampai duluan di Bioskop lalu bergegas menaiki eskalator menuju loket tiket. Sampai di depan loket tiket sebuah tulisan yang sangat mengecewakan menyambutku yang masih ngos-ngosan.
“Mohon Maaf Tiket “Black Panther” HABIS”
Seketika aku ingin memarahi Givar, tapi tidak ada gunanya. Aku duduk menunggu Givar di kursi tunggu. Sesaat kemudian ia datang dengan tidak kalah ngos-ngosan.
“Gimana Lel, udah dapat tiketnya?” tanya Givar.
“habis Var!” jawabku singkat sambil menolehkan kepala pada papan pengumuman sialan itu.
“waduh! Gimana yaa? Kalau nonton film lain gapapa?” bujuk Givar. Mungkin ia sadar aku sudah sangat kesal hari itu.
“ya udah, kita ke loket dulu aja yuk!”  ajak Givar. Dia memang paling sukses dalam urusan membujukku.
Sampai di depan loket, tersedia 3 pilihan film yang sama sekali tak menarik minatku.
Film pertama berjudul Eiffle, I`m in Love, lalu Film hantu yang sama sekali tak menarik, dan film komedi lokal Yowis Ben. Aku yakin tidak mungkin Givar mengajakku nonton Eiffel i`m in Love.
“kita nonton yowis ben aja ya?” tawar Givar.
“ya udah gapapa.” Jawabku singkat.
Rupanya kesialan hari itu belum selesai. Sampai diloket, setelah berdebat singkat soal film yang akan ditonton aku dan Givar memilih tempat duduk. Well, hampir satu bioskop sudah penuh. Menyisakan 2 tanda hijau yang menandakan kursi masih available. Namun kursi itu berada di baris ke 1 dan ke 2 dari layar.
“tinggal 2 kursi lagi mba. Mau diambil ?”
“hmm gaada lagi pilihan lain Lel. Gapapa yaa ?” bujuk Givar melihatku cemberut.
“ya sudahlah. Daripada kita pulang lagi, kan lawak ya?” jawabku.
Dan akhirnya malam itu kami menonton film yang sama sekali tidak direncanakan. Mengalami hal-hal diluar dugaan dengan perasaan yang sedikit mulai tak bisa dikendalikan. Ada kekesalan, kejengkelan, namun kembali lagi. Terkadang ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita dapatkan, hal itu merupakan bentuk perlindungan Tuhan akan hal-hal yang tidak baik bagi kita.
Meski sedikit kecewa namun kami masih bisa menikmati film komedi tersebut dengan tawa. Kami pulang sekitar pukul 11 malam. Sebenarnya jam yang masih sangat wajar untuk aku berada diluar kosan karena seringnya saat adzan subuh menyapa baru aku bertegur sapa dengan bantal dan guling dikosan.
Kami memutuskan untuk mampir di warung Burjo dekat kosanku dan memesan sepiring nasi goreng dan mie goreng dengan telur. Aku yang memang sudah sangat lapar langsung menghabiskan mi goreng tersebut. Dihadapanku Givar justru masih asik dengan Mobile Legend nya. Kuraih handphonenya dan mengatakan :
“Var, tau gak sih aku sering ngeliat orang yang terlalu asyik main gadget itu kayak orang idiot. They are innocent about their surronding. Take care anything if it has social climbing value. Kadang aku mikir ajah gadget itu hebat banget, seakan-akan dia diciptakan untuk mengubah esensi hal-hal seperti komunikasi, membuat janji, hingga empati.”cerocosku sambil mengangkat-angkat gadgetnya.
“Lel, jangan kebanyakan makan mie makanya.” Balasnya sambil meraih gadgetnya dari tanganku.
“Vaaar...” jawabku sambil memukul tangannya.
“gatau kenapa Var aku ngerasa tiap jalan sama kamu adaaaaa ajah kejadian-kejadian yang bikin aku ngelus dada. Si Arif pernah bilang katanya aku kalau jalan sama kamu terlalu sering menderita.” Cerocosku kesal,
“Lel, rasa menderita, kesel, capek dan sebagainya itu karena kamu melihatnya dari prespektif negatifnya ajah. Kamu ga nikmati proses kamu tadi jalan kaki sendirian malem-malem di terminal, atau proses kamu dorong motor ama aku sampe 6 kilo. Coba kalau kamu nikamti, pas kamu tadi jalan di terminal kamu bisa lihat disitu banyak anak-anak yang jam segitu masih jajakin koran dilampu merah. Kamu lihat itu, hati kamu pasti bersyukur karena punya kesempatan buat hidup lebih baik. Kamu dorong motor ama aku ampe 6 kilo kalau kamu ga ngeluh, kamu nikmatin prosesnya kamu bisa lihat sepanjang jalan banyak pedagang-pedagang yang cuma modal terpal ama bambu dan es marimas gopean. Berapa keuntungan mereka dari jualan kayak gitu? Cukup buat makan keluarganya?... itulah Lel,kadang semua kekecewaan, kelelahan dan kesedihan itu Cuma presepsi karena kamu mengambil sudut pandang yang seperti itu. Jadiiii, sekarang kamu jangan kebanyakan makan mie instan ama sotong ya. Jadi random banget gini kan ngomongnya.” Tutupnya.
“apaan sih Vaaaar...” kataku masih sinis.
“lho, bener kan apa yang tadi aku omongin?.. udah sekarang apa-apa jangan dibikin sedih... apa-apanya dibawa ketawa ajah sampe kesedihan itu nyerah bikin kamu sedih.”
“Var, tumben kamu malem ini bijak. Hehehe”
“Lel, serius lho bulan depan kamu yang bayarin nonton gamau tau pokoknya.”
“Aseeem ik” jawabku sambil memukul pundaknya.
Sebelum masuk ke kosan Givar masih sempat mengoceh...
“Lel, jangan kapok yaa aku bikin menderita :D” ditutup dengan senyuman paling manis yang bikin bulu kuduk meringis.

Selasa, 01 Oktober 2019

Malam di Jogja

Aku, Tia dan Ica sampai di Jogja pukul 15.30.. perjalanan Solo-Jogja hampir semuanya aku habiskan dengan TIDUR. Yeaaah, jalan-jalan ditengah kondisi berpuasa memang mengantukan. Hehe. Setelah tiba di stasiun Jogja, kami langsung menuju loket tiket untuk memesan tiket pulang menuju Solo. (manusia macam apa kita ini?? Baru sampai distasiun sudah langsung beli tiket pulang lagi??) namun , hal tersebuh bukan tanpa alasan tentunya. Kami khawatir tidak bisa pulang ke Solo besok pagi dan ketinggalan kereta ke Semarang. Daaaan jeng jeeeeng sampai diloket tiket kami harus mulai spaneng karena tiket kereta Prambanan Express sudah habis di jam yang kami rencanakan. Tia mulai bingung khawatir tidak bisa pulang ke Semarang. Sementara Ica masih mencoba bernegosiasi dengan petugas tiket. Aku malah tidak terlalu memikirkan masalah tiket, yang penting kita ini lagi di Jogja, nikmati dulu saja. Setelah berdiskusi singkat, aku mengusulkan kalau kita naik kereta dari Jogja ke Solo besok pagi saja. Lalu melanjutkan perjalanan ke semarang dengan bis. Ica dan Tia setuju. Ica kemudaian coba memesan tiket kereta Prambanan Express untuk jam 05.30 besok pagi. Well, tiket pulang sudah ditangan. Tentu saja, keputusan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Yapp, konsekuensinya adalaaah kita harus menghabiskan waktu dari sore hingga besok pagi di Jogja. Ngapain? Ya gak tau. Pokoknya kita nikmati aja dulu. Hahaha.
                Setelah berjuang dengan loket tiket, kami melanjutkan berjalan kaki menuju pusat belanja Malioboro. Karena waktu sholat ashar sudah menyapa, aku memutuskan mencari masjid sementara mereka katanya mau mencari makan. (heyy!! Kurang ajar sekali. Saat sedang bulan puasa seperti ini sementara aku kehausan, mereka dengan santai meneguk segelas es jeruk dihadapanku.) :D aku kembali dari masjid dan menemukan mereka berdua tengah nangkring di tukang bakso. Diatas meja mereka sudah tergeletak 2 mangkok bakso yang tentu saja sudah habis lengkap dengan 3 gelas kosong disitu. (hey!! Siapa yang sudah menghabiskan 2 gelas es jeruk ini?) mereka minta maaf karena telah makan dan minum didepan orang yang sedang berpuasa sepertiku. Hmmm, baiklah. Itu bukan salah mereka. Wanita selalu punya alasan masuk akal untuk dibenarkan.
                Selesai dengan makan dan minum yang menyebalkan bagiku, kami berdiskusi untuk tujuan dan aktivitas selanjutnya. (ini salah satu yang aku kurang suka ketika harus berjalan-jalan lebih dari dua orang tanpa perencanaan yang matang) Ica mengusulkan untuk berjalan-jalan di malioboro sampai tugu Nol KM Jogja. (Apa kabar aku yang sedang berpuasa ini kawan? Wkwk). Untung saja suasana sore itu cukup bersahabat, matahari bersahabat, panasnya tak terlalu menyengat dan hiruk pikuk tidak terlalu padat. Jogja selalu membuat nyaman siapapun yang singgah. Entah aura macam apa yang ia tawarkan. Jogja selalu membuatku bisa menikmati setiap inci hiruk-pikuknya, orang-orangnya, seniman jalanannya, jajanan uniknya, dan tentu saja cerita-cerita setelahnya.
                Kami berjalan disepanjang area Malioboro. Tengok-tengok penjual batik, tas, dan aneka pernak-pernik ke-Jogja-an lainya. Sialnya, mataku selalu tergoda dengan aneka tas rajut lucu itu. Padahal tahun lalu aku sudah membeli sebuah Sling bag rajut saat di Bali. Ica dan Tia mengompor-ngomporiku sampai akhirnya aku meledak dan memutuskan membeli sebuah tas punggung rajut. Awalnya aku kaget bin tidak terima dengan harga yang ditawarkan si abangnya. 150k cuy! Hmmm, bukan Jogja namanya kalau tawar menawar berhasil. Aku menawar sampai harga 50k!  Kurang ajar sekali memang yaaa, haha! And then, I got it! Tas punggung rajut lucu itu masuk dalam kantongku.
                Menjelang waktu berbuka puasa, ada sebuah fenomena disini. Jalur pedestrian sekaligus markas PKL tersebut berganti gaya. Jika tadi siang-sore koridor tersebut dipenuhi pedangang bakso, gorengan, es dan aneka jajanan lainnya. menjelang waktu berbuka, mereka berganti shift dengan para pedangan penyetan, bakar-bakar an, sate dan sebangsanya. Aku faham.. maksudnya teriakan “Wayahe, wayahe, wayahe (saatnya, saatnya, saatnya)” itu adalah waktu pergantian shift para pedagang ini. Well! Selain fenomena shift pedangan, satu hal menarik yang selalu menjadi list “Most wanted” ku kalau ke Malioboro adalaaah seniman jalanan tunanetra yang sepanjang sore-malam menyanyikan tembang lawasnya Om Ebiet G. Ade, Dian Pisesha, Christine Panjaitan, Yuni Shara, dan sebangsanya. Lagu-lagu kesukaan almarhumah Ibu bisa aku nikmati dengan suasana lain disini. Aku bisa menghabiskan waktu berlama-lama di samping si seniman tersebut untuk sekedar menikmati lagu lawasnya. Dan jika diperhatikan lebih jauh, hampir semua seniman jalanan disana adalah penyandang tunanetra. Dengan bermodalkan tape, mix dan intrumen karaoke mereka bisa berjam-jam melantunkan aneka lagu lawas kesayangan.
                Saat waktu berbuka tiba, kami mampir disebuah warung lesehan penyetan dan aku memesan ayam bakar lengkap dengan lalapan dan es teh. Ah! Segar! Suasana berbuka yang syahdu lengkap dengan alunan lagu “tak ingin sendiri” dari Dian Pisesha yang dinyanyikan seorang ibu tunanetra dengan suara sekelas Raisa. Huh!! Suara ibu tersebut nyatanya lebih nyaman didengar daripada janji manis gebetan, wkwkw. Setelah berbuka dan Sholat Magrib, kebingungan menyapa kembali. Waktu masih menunjukan pukul 18.55 saat aku keluar dari masjid. Then, well! Ica mengajak kami jalan-jalan kembali ke Tugu Nol KM Jogja! What?! Seperti tidak ada objek lain saja. tapi, yaaaah aku memaklumi, kami ini jalan-jalan ditengah bulan ramadhan, budget terbatas, perencanaan kurang pas dan inilah konsekuensinya, rundown perjalanan jadi tidak jelas. Haha.
                Kami berjalan melintasi deretan pedangan batik, cinderamata, lukisan tangan, makanan, minuman, jajanan, sampai pertunjukan jalanan bisa kami saksikan disini. Aku meminta untuk sejenak duduk di bangku taman dekat situ. Angin malam itu rupanya sangat bersahabat. Malioboro yang mulai padat seakan menguap begitu saja. Tia masih berusaha mencari cara untuk bisa menemukan oleh-oleh bakpia kukus yang saat itu memang sedang booming2nya jadi oleh-oleh khas Jogja. Tiba-tiba seorang bapak penarik becak motor a.k.a cator menawarkan jasa antar keliling malioboro, alun-alun utara, dan pusat oleh-oleh hanya dengan 20k untuk 3 orang. Well, then his offering was accepted. Kita bertiga naik becak ukuran pada umumnya, bertiga, bertiga CUY!! Yaaa walaupun kita bertiga tidak ada yang punya badan diatas rata-rata tapi tetap saja pantat kita tak bisa dengan nyaman duduk disana. Si bapak mulai meluncur. Ica yang duduk dipangku diantara aku dan Tia mulai histeris ketakutan. Aku sekuat tenaga memeganginya. Kalau diingat-ingat mirip adegan Maudy Ayunda pada film Trinity Travelling saat naik bajaj di Filiphina. Persis! Cewek bertiga, histeris diatas becak dengan muatan yang tak biasa. Kurang ajarnya, Ica masih sempat memintaku mengambil foto.  Dan alhasil hanya rentetan foto blur yang rasanya kurang pas jika aku upload disini.
                Setelah mendapatkan 2 kotak bakpia kukus, kami kembali ke tempat awal kami berangkat bersama si bapak. Aku mengajukan usul untuk selanjutnya kita pergi ke kedai Kopi Joss saja karena disana buka sampai malam. Mengingat kedai Kopi Joss itu identik dengan tempat nongkrong cowok, Tia mengajak temannya yang di Jogja untuk bergabung. Well, sounds good! Kita bertemu dengan temannya Tia di depan KF* Malioboro lalu sama-sama berjalan kaki menuju angkringan kopi Joss di yang berada sekitar 100m dari stasiun Jogja. Kami saling berkenalan. Namanya Azmi dn Rizky. Oke, kesan pertama ku  adalah mereka cowok-cowok pendiam. Hahahaa. Namun, semua berubah ketika obrolan malam itu mulai seru dan menjurus pada hal-hal pribadi. Ternyata Azmi dan Rizky adalah tipikal anak yang mudah akrab. Oiya, sebelum aku lupa. Agenda nyobain kopi Joss ini adalah salah satu bucket list nya Ica yang penasaran dengan Kopi yang ditambahkan arang tersebut. Congrats! One of your list has been done! Buat kalian yang mau main ke Jogja, aku kasih tau aja plis siapin uang koin yang banyak. Karena kalau kalian nongkrong di angkringan pinggir jalan gini lebi dari 2 jam, percaya deh, jumlah pengamen a.k.a street artist yang nyambangin kalian bakalan ngabisin lebih banyak dari harga kopinya. Bisa dibilang mereka dateng 10-15 menit. Kalau kalian cuek sih bisa ajah, Cuma aku kadang ga tega aja apalagi kalau dia nyanyi nya bagus terus minta kita buat request lagu apa yang mau mereka nyanyiin buat kita. Hehehe..  salah satu pengamen yang menghampiri kami menawarkan apa yang mau ia nyanyikan untuk kami. Well, aku meminta ia menyanyikan lagu Ebiet G. Ade- Cinta sebening embun. Eh, dia malah ketawa dan bilang “waah, yang lain aja ya mba. Berita kepada kawan deh.”.. “Lha itu mah lagu soundtrack nya iklan2 bulan puasa mas, hehe” .. akhirnya ia menyanyikan lagi lain. Wkwkw.
                Kami nongkrong di angkringan kopi Joss sampai ja 12 malam. Suasana Jogja begitu nyaman dan seakan tak mengijinkan kami beranjak pulang. Namun, disisi lain kita tidak punya pilihan yang lebih baik untuk beristirahat malam itu. Stasiun menjadi satu-satunya tempat yang terjangkau bagi kami untuk melepas lelah. Setelah diantar oleh Azmi dan Rizky sampai di stasiun Jogja, kami langsung menuju peron stasiun untuk mengecas handphone. Petugas keamanan sempat menanyai kami mengapa tengah malam begini sudah di stasiun padahal kereta kami jam 05.30 besok. Hahaha sepertinya si bapak faham dan mengizinkan kami untuk masuk dan “menunggu” di peron stastiun. Bangku peron yang cukup panjang menjadi tempat bersandar yang cukup nyaman. Ditambah saat jam-jam tersebut stasiun sedang tidak terlalu ramai. Waktu menunjukan pukul 01.30 saat kami mulai “mensetting” posisi tidur senyaman mungkin saat itu. Aku yang sebelumnya sudah membeli makan sahur berinisiatif untuk makan sahur sebelum tidur. Takut kesiangan atau malas bangun. Wkwk!
                Meskipun stasiun kereta api dewasa ini sangat jauh lebih baik dari segi apapun. Namun, keamanan tidak bisa 100% kita jaminkan padanya. Kami yang saat itu mengisi daya baterai terpaksa tidur bergiliran agar satu sama lain bisa mengawasi barang-barang kami. Saat waktu menunjukan pukul 02.30 kami memilih pindah ke musholla stasiun karena dirasa lebih nyaman dan tidak terlalu berisik oleh kereta yang lalu lalang. Kami bisa tidur lebih baik di musholla stasiun. Meskipun, sebenarnya bukan hal yang etis tidur didalam musholla. Namun, posisi kami sebagai “orang yang sedang dalam perjalanan” tidak punya banyak pilihan. Waktu terasa begitu cepat ketika tiba-tiba suara orang-orang mula lebih ramai. Ketika itu jam menunjukan pukul 04.00. oke waktunya bangun lel! Sebuah fenomena lucu sekaligus menggelikan saat aku melihat ada seorang ibu yang entah sengaja atau tidak sedang sholat tepat di depan Ica yang sedang nikmat2nya tidur . hahaha! Aku membangunkannya dan seketika wajah kaget nan heran terurai dari Ica. Kami bertiga bergiliran ke kamar mandi untuk sekedar buang air dan cuci muka. Saat jam menunjukan pukul 05.00 setelah aku menunaikan sholat subuh, kami menunggu kereta jurusan Solo dan tiba di Solo pukul 8-an. Konsekuensi lain dari unplanned trip kali ini adalah kita harus pulang ke semarang dengan bis yang ongkosnya 3x harga tiket keretaLL
                Jogja selalu menyimpan cerita tersendiri. Tentang perjalanan penuh kejutan. Tak terduga dan tak pernah biasa. Jogja selalu menjadi tempat baru meskipun kami sudah sekian kali bertemu. Perjalanan kali ini tak hanya mendekatkan kami, ia mengajari kami banyak hal. Yaaaa, sometimes not all girls are made from someting nice. Sometimes, her beauty and strength is created from survival, adventure, brain and no fear. Learning is not only about what you know from books but also how you make a decision from your choice. And it`s really different between we knowing the path and walking the path.
Thanks buat kalian yang udah mau baca. Semoga bermanfaat. 

Selasa, 03 September 2019

The Most Special “F” Thing- Masa SMP



Faros Kandana Namanya. Mungkin kali ini aku akan bercerita cukup panjang tentang orang ini. Namun sebelumnya aku minta maaf kalau detail ceritanya tidak sepenuhnya aku sampaikan disini. Well, let`s get to the topic!
Namanya Faros Kandana (nama asli). Biasa dipanggil ‘Faros’ atau cukup ‘Ros’. Siapa dia? Well, dia adalah teman SMP ku. Anak yang hmmm tidak terlalu ganteng, namun punya wajah imut yang menggemaskan. Aku mulai mengenal Faros sejak kami sama-sama duduk di kelas 7F SMPN 1 Pagaden. Kami menjadi teman sekelas sampai kelas 8. Aku mengenal Faros sebagai anak yang pendiam. Namun diam-diam dia menyalip peringkat kelas kami. Masuk semester 2 ia dengan sangat tiba-tiba entah bagaimana caranya dia langsung melesat keposisi peringkat teratas dikelas kami. Tidak hanya itu, kurang ajarnya ia juga menjadi juara paralel dari keseluruhan kelas 7 saat itu. Bagaimana denganku ? hah! Aku terlempar jauh ke posisi 4 dikelas. Sialan!
Usut punya usut, Faros tidak main dukun apalagi joki saat mengerjakan ujian. Dari temannya aku tahu belakangan ini dia menjadi anak yang sangat disiplin dirumahnya. Pulang sekolah, makan siang, belajar, belajar dan belajar. Simpel. Itu saja strateginya mengalahkan kami semua. Selama kelas 7 aku dan Faros hanya teman sekelas yang hanya akan bertegur sapa ketika salah satu dari kita bertanya. Kita biasa saja. sebiasa penampilan Faros sehari-hari saat ke sekolah. Saat teman-teman yang lain sudah petantang-petenteng minta motor baru ke orangtuanya. Faros masih setia pulang pergi kesekolah dengan sepeda. Good job Bro!
Naik ke kelas 8 rupanya nasib masih menghendaki kami untuk satu kelas. Sekarang ceritanya lain. Aku sudah tau dia pintar. Juara umum paralel. Dan pastinya, aku akan menjadi pesaingnya dikelas. Pokoknya aku tidak mau kalah. Haha! Hubungan kami menjadi semakin oportunis. Misal, jika aku memintanya membantu PR bahasa inggrisku, maka dilain kesempatan ia akan memintaku membantu tugas Seni Rupanya. Setiap selesai ulangan harian kita selalu kepo dengan nilai satu sama lain. Diantara semua murid kelas, aku menjadi orang yang paling mudah mengakses ‘bantuan’ nya. Saat ujian semester kita selalu menjadi yang terakhir keluar dari ruangan. Bahkan saling tunggu satu sama lain. Sengaja mengakhirkan diri maksudnya. Namun selama 2 semester aku masih harus berlapang dada sebagai runner up dikelas kami. Baiklaah. Tidak masalah.
Selama kelas 8 bisa dibilang pertemanan aku dan Faros lebih cair. Tidak hanya sebatas menyapa alakadarnya. Kami mulai sering bertukar PR dan aku sudah mulai berani meledeknya. Misal : “Faros, kalau jalan jangan nunduk terus nanti nabrak!” atau saat petugas penagih cicilan buku pelajaran menagih dikelas dan mengatakan :” Faros, bapak kamu itu kepala desa lho. Masa ini kamu belum lunas juga.” Lalu saat jam istirahat aku menghampirinya dan mengatakan :”kamu tuh jangan diem aja kalau dibilangin gitu sama Bu X. Harusnya kamu bilang “yang kepala desa kan bapak saya bu, bukan saya.” Hahaha.” Dan seperti biasan dia hanya akan melemparkan tanggapan datar tanpa gelombang ekspresi.
Lambat laun aku merasa pertemanan oportunis penuh persaingan ini menyenangkan. Namun sayang, saat kami naik ke kelas 9 kami harus ikhlas berbeda kelas. Disatu sisi aku senang, aku punya kesempatan untuk menjadi yang pertama dikelasku. Namun, disisi lain aku sedih karena kehilangan teman sekaligus sumber ‘bantuan’ ku.
Kelas 9 berjalan dengan sangat lancar. Diawal semester aku bisa dengan mudah meraih peringkat 1 dan mempertahankannya hingga kelulusan. Singkatnya aku dan Faros lulus dengan sama-sama menjadi rangking 1 dikelas (yang berbeda). Tak lama proses pendaftaran siswa baru di jenjang SMA akan dibuka. Lagi-lagi aku dan Faros mendaftar di sekolah yang sama.
Saat hasil tes tulis diumumkan, again and again Faros selalu mengungguliku dalam hal akademik. Yah aku akui dia memang selalu didepanku. Meski mendapat nilai yang lebih baik dariku, Faros akhirnya mengambil SMA di Kota yang jaraknya bisa sampai 30 menit naik angkot dari SMA ku.
Sampai disini kebersamaan aku dan Faros. Singkat bukan?
Sangat singkat. Tanpa banyak cing-cong soal kenangan atau perpisahan. Aku dan Faros sudah memilih jalan masing-masing. Namun siapa sangka, siapa sangka “ketidakbersamaan” kita sejak saat itu justru menjadi awal cerita yang akan menjadi ingatan seumur hidup kami.
Cerita masa SMA kami akan aku tulis di bagian lain. Selamat membaca J

Selasa, 16 Juli 2019

TENTANG BERJALAN (about walking)


ini tentang kita yang memulai perjalanan bersama
tentang kita yang mengakhirinya dengan saling tergesa
kita akan selesai pada waktunya.

kita selalu berjalan "bersama"
namun, dengan kecepatan berbeda
ada yang berlari
ada yang berjalan
bahkan ada yang terseret-seret merangkak

ada yang memilih jalan bebas hambatan
ada yang memilih jalan besar penuh sesak oleh rintangan
bahkan ada pula yang memilih menyelusup diantara gang perkampungan

ada yang berhenti tuk sekedar menarik nafas
ada yang berhenti untuk sekedar menoleh ke belakang
melihat siapa yang tertinggal
ada pula yang berhenti untuk sekedar menanti bertemu sapa kembali

ada yang berjalan sendirian
ada yang sambil menggandeng pasangan
ada yang menggendong tas penuh barang bawaan
bahkan sampai terseok sambil memanggul setumpuk beban

namun kita sedang sama-sama berjalan.
semua akan mencapai tujuannya masing-masing
dengan cara, rasa dan cerita masing-masing

kita sedang sama-sama berjalan
namun,
tak ada yang tahu siapa yang akan sampai di tujuan atau lebih dulu dipanggil Tuhan.


--Semarang. 2019, July 16th

Jumat, 14 Juni 2019

Solo-Jogja : Our Sudden Trip




                Ide gila itu muncul tiba-tiba ditengah obrolan ngalor ngidul di beranda. Selepas sholat tarawih adalah waktu yang paling pas buat kita bertiga bercengkrama. Bisa diisi dengan obrolan bertema sampai bercanda basa-basi sekedar tertawa bersama. Aku, Ica, dan Tia belakangan ini menjadi akrab sejak aku pindah kamar yang bertetanggaan dengan mereka. Rutinitas di bulan ramadhan kita mulai berburu takjil dan buka puasa di masjid kampus hingga saling mengetuk pintu kamar ketika waktu sahur menegur. Obrolan malam itu akhirnya melahirkan ide gila untuk short trip sebelum kita semua pulang kampung. Solo dan Jogja menjadi opsi tak terbantah yang langsung putuskan dengan sah. Kita bertiga akan melakukan short trip ke Solo dan Jogja pada 25 Mei dan pulang ke Semarang pada 26 Mei pagi nya.
                Dua hari sebelum trip itu aku dan Ica membeli tiket kereta lokal Jurusan Semarang-Solo dengan harga RP.10.000,- per tiketnya. Dalam trip ini aku bertugas sebagai penanggungjawab BRT (Trans Semarang) dan Go-Car untuk mengantar kita dari satu tempat ke tempat lain. Sementara Ica yang mengurus tiket kereta dari Semarang hingga Jogja, dan Tia yang mengurus destinasi perjalanan kita.
                Finally, hari yang kita tunggu-tunggu tiba. Jam 8 teng kita sudah bersiap dari kosan untuk naik BRT menuju Stasiun Semarang Tawang. Dengan modal Kartu Mahasiswa kita jadi Cuma bayar Rp. 1000,-  sementara untuk menuju halte kita memesan Go-car bermodal voucher diskon, haha.
                Perjalanan menuju stasiun hari itu bisa dibilang cukup cepat. Dalam 30 menit kita udah sampai di Stasiun. Dan disini sebuah kejadian lucu satu persatu terjadi. Saat asyik-asyik menunggu panggilan untuk masuk peron, Tia khusyu dengan kamera nya jepret sana jepret sini sampai-sampai petugas tiket heran. H-10 menit dari jadwal keberangkatan, kita bertiga menuju petugas pemeriksaan tiket dan saat boarding pass kami di scan, data penumpang tidak mau keluar. Saat di cek, ternyata eh ternyata tanggal yang tertera di tiket adalah 26 Mei, that`s mean besok! Aku dan Ica salah tanggal saat memesan tiket. Tia sudah panik. Khawatir kalau plan kita gagal. Untung nya seorang petugas menyarankan kita untuk segera ke loket tiket, karena pelayanan Go-show bisa dilakukan maksimal 3 jam sebelumnya. Jadi, kita langsung lari menuju loket pemesanan tiket dan akhirnya berhasil mendapatkan 3 tiket menuju Solo dengan harga yang sama.  Perjalanan Semarang-Solo mennghabiskan waktu hampir 3 jam. Sepanjang perjalanan aku dan Ica sibuk mencari dan merencanakan destinasi yang bakalan kita kunjungi selama di Solo sementara Tia sibuk dengan vlognya. :D setelah sejam berlalu aku mulai jenuh dengan panorama monoton sepanjang mata memandang yang ku lihat hanya kebun jagung. Aku plek tidur disusul Ica. Aku kembali terbangun ketika kereta sampai di statsiun Gemolong, tinggal 2 stasiun lagi kita tiba di Solo.
                Kereta tiba di Statiun Solo Balapan pukul 11.40, karena aku harus sholat dzuhur sementara hari itu Ica dan Tia kebetulan sedang berhalangan. So, trip ditengah kondisi berpuasa ini hanya dirasakan olehku. That`s Fine! Aku menunaikan sholat dzuhur sementara Ica dan Tia menunggu diluar musholla stasiun. Selesai Sholat kita tidak langsung menuju destinasi Istana Mangkunegaran, melainkan menuju loket tiket untuk membeli tiket kereta menuju Jogja. Plan awal kita akan menghabiskan waktu di Solo setidaknya sampai jam 17.00. namun, jadwal tiket kereta Prameks dari Solo ke jogja hari itu sudah habis untuk jam 16.40. Masalah kehabisan tiket mulai mengubah plan kami. Oke, setelah berdiskusi singkat disamping loket kita memutuskan untuk membeli tiket menuju Jogja pukul 14.00. tiket sudah ditangan. Namun, saat itu jam tangan menunjukan pukul 12.15. Hissssh akan sangat singkat sekali trip di Solo ini. Tapi apa boleh buat. Ini sudah keputusan bersama.
                Aku memesan Go-car menuju Istana Mangkunegaran dengan hanya membayar gopay Rp.3000,-. Sampai di Istana Mangkunegaran kita lagi-lagi seperti orang asing yang gak tau jalan. Clingak-clinguk sana-sini sampai akhirnya ada seorang staf istana yang menunjukan tempat pembelian tiket. Di loket kita diberitahu tentang jasa pemandu yang yaa memang di bayar seikhlasnya, tapi kita sebagai mahasiswa yang harus serba hemat harus berfikir sekian menit untuk mengiyakannya. Meskipun pada akhirnya kita menyetujuinya.
                Istana Mangkunegaran adalah sebuah kompleks istana yang di tinggali oleh keluarga keraton Solo. Sang tourguide yang terbilang sudah cukup sepuh menjelaskan berbagai hal mulai dari makna tiap gambar dan ornamen yang ada di tiap sudut istana hingga sejarah silsilah keluarga keraton dan berbagai barang antik dengan kisah uniknya masing-masing. Beberapa benda sudah familiar kulihat. Namun ada juga benda-benda unik yang benar-benar autentik dan setelah dijelaskan oleh si bapak tourguidenya aku Cuma bisa mengangguk takjub. Well, si bapak juga dengan senang hati memfoto kami di beberapa spot rekomendasinya. Satu hal penting yang aku sadar dari perjalanan di Istana Mangkunegaran adalah betapa masih secuilnya pengetahuan sejarahku. Tiap si bapak menjelaskan satu hal dan kemudian bertanya “mba tahu yang namanya bla blla  bla ...?” dan akuu hanya bisa menjawab dengan pertanyaan balik “oiya, apa itu pak?” haha ..mungkin si bapak menganggap aku ini mahasiswa tapii pengetahuan sejarah dasarnya kelewat. Pesan penting buat kita semua : perbanyak membaca, apapun itu. Karena bagaimanapun kita sebagai generasi muda inilah yang akan menjadi pewarisnya Indonesia. Bagaimana bisa menjadi pewaris yang baik jika kita tidak mengenal apa yang akan diwariskan untuk kita. Yuk belajar sejarah! J
                Setelah puas berkeliling kami melanjutkan perjalanan menuju jogja selam 1 jam 15 menit  dan tiba di stasiun Tugu Jogja pukul 15.30.... to be continued






Jalan-jalan Ala Mahasiswa Setengah PNS Part 2

  Selepas isya, Aku, Apip dan Mas Azmi berjanji bertemu di depan minimarket dekat kosanku. Apip sudah siap dengan tas jinjing berisi laporan...