Selasa, 01 Oktober 2019

Malam di Jogja

Aku, Tia dan Ica sampai di Jogja pukul 15.30.. perjalanan Solo-Jogja hampir semuanya aku habiskan dengan TIDUR. Yeaaah, jalan-jalan ditengah kondisi berpuasa memang mengantukan. Hehe. Setelah tiba di stasiun Jogja, kami langsung menuju loket tiket untuk memesan tiket pulang menuju Solo. (manusia macam apa kita ini?? Baru sampai distasiun sudah langsung beli tiket pulang lagi??) namun , hal tersebuh bukan tanpa alasan tentunya. Kami khawatir tidak bisa pulang ke Solo besok pagi dan ketinggalan kereta ke Semarang. Daaaan jeng jeeeeng sampai diloket tiket kami harus mulai spaneng karena tiket kereta Prambanan Express sudah habis di jam yang kami rencanakan. Tia mulai bingung khawatir tidak bisa pulang ke Semarang. Sementara Ica masih mencoba bernegosiasi dengan petugas tiket. Aku malah tidak terlalu memikirkan masalah tiket, yang penting kita ini lagi di Jogja, nikmati dulu saja. Setelah berdiskusi singkat, aku mengusulkan kalau kita naik kereta dari Jogja ke Solo besok pagi saja. Lalu melanjutkan perjalanan ke semarang dengan bis. Ica dan Tia setuju. Ica kemudaian coba memesan tiket kereta Prambanan Express untuk jam 05.30 besok pagi. Well, tiket pulang sudah ditangan. Tentu saja, keputusan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Yapp, konsekuensinya adalaaah kita harus menghabiskan waktu dari sore hingga besok pagi di Jogja. Ngapain? Ya gak tau. Pokoknya kita nikmati aja dulu. Hahaha.
                Setelah berjuang dengan loket tiket, kami melanjutkan berjalan kaki menuju pusat belanja Malioboro. Karena waktu sholat ashar sudah menyapa, aku memutuskan mencari masjid sementara mereka katanya mau mencari makan. (heyy!! Kurang ajar sekali. Saat sedang bulan puasa seperti ini sementara aku kehausan, mereka dengan santai meneguk segelas es jeruk dihadapanku.) :D aku kembali dari masjid dan menemukan mereka berdua tengah nangkring di tukang bakso. Diatas meja mereka sudah tergeletak 2 mangkok bakso yang tentu saja sudah habis lengkap dengan 3 gelas kosong disitu. (hey!! Siapa yang sudah menghabiskan 2 gelas es jeruk ini?) mereka minta maaf karena telah makan dan minum didepan orang yang sedang berpuasa sepertiku. Hmmm, baiklah. Itu bukan salah mereka. Wanita selalu punya alasan masuk akal untuk dibenarkan.
                Selesai dengan makan dan minum yang menyebalkan bagiku, kami berdiskusi untuk tujuan dan aktivitas selanjutnya. (ini salah satu yang aku kurang suka ketika harus berjalan-jalan lebih dari dua orang tanpa perencanaan yang matang) Ica mengusulkan untuk berjalan-jalan di malioboro sampai tugu Nol KM Jogja. (Apa kabar aku yang sedang berpuasa ini kawan? Wkwk). Untung saja suasana sore itu cukup bersahabat, matahari bersahabat, panasnya tak terlalu menyengat dan hiruk pikuk tidak terlalu padat. Jogja selalu membuat nyaman siapapun yang singgah. Entah aura macam apa yang ia tawarkan. Jogja selalu membuatku bisa menikmati setiap inci hiruk-pikuknya, orang-orangnya, seniman jalanannya, jajanan uniknya, dan tentu saja cerita-cerita setelahnya.
                Kami berjalan disepanjang area Malioboro. Tengok-tengok penjual batik, tas, dan aneka pernak-pernik ke-Jogja-an lainya. Sialnya, mataku selalu tergoda dengan aneka tas rajut lucu itu. Padahal tahun lalu aku sudah membeli sebuah Sling bag rajut saat di Bali. Ica dan Tia mengompor-ngomporiku sampai akhirnya aku meledak dan memutuskan membeli sebuah tas punggung rajut. Awalnya aku kaget bin tidak terima dengan harga yang ditawarkan si abangnya. 150k cuy! Hmmm, bukan Jogja namanya kalau tawar menawar berhasil. Aku menawar sampai harga 50k!  Kurang ajar sekali memang yaaa, haha! And then, I got it! Tas punggung rajut lucu itu masuk dalam kantongku.
                Menjelang waktu berbuka puasa, ada sebuah fenomena disini. Jalur pedestrian sekaligus markas PKL tersebut berganti gaya. Jika tadi siang-sore koridor tersebut dipenuhi pedangang bakso, gorengan, es dan aneka jajanan lainnya. menjelang waktu berbuka, mereka berganti shift dengan para pedangan penyetan, bakar-bakar an, sate dan sebangsanya. Aku faham.. maksudnya teriakan “Wayahe, wayahe, wayahe (saatnya, saatnya, saatnya)” itu adalah waktu pergantian shift para pedagang ini. Well! Selain fenomena shift pedangan, satu hal menarik yang selalu menjadi list “Most wanted” ku kalau ke Malioboro adalaaah seniman jalanan tunanetra yang sepanjang sore-malam menyanyikan tembang lawasnya Om Ebiet G. Ade, Dian Pisesha, Christine Panjaitan, Yuni Shara, dan sebangsanya. Lagu-lagu kesukaan almarhumah Ibu bisa aku nikmati dengan suasana lain disini. Aku bisa menghabiskan waktu berlama-lama di samping si seniman tersebut untuk sekedar menikmati lagu lawasnya. Dan jika diperhatikan lebih jauh, hampir semua seniman jalanan disana adalah penyandang tunanetra. Dengan bermodalkan tape, mix dan intrumen karaoke mereka bisa berjam-jam melantunkan aneka lagu lawas kesayangan.
                Saat waktu berbuka tiba, kami mampir disebuah warung lesehan penyetan dan aku memesan ayam bakar lengkap dengan lalapan dan es teh. Ah! Segar! Suasana berbuka yang syahdu lengkap dengan alunan lagu “tak ingin sendiri” dari Dian Pisesha yang dinyanyikan seorang ibu tunanetra dengan suara sekelas Raisa. Huh!! Suara ibu tersebut nyatanya lebih nyaman didengar daripada janji manis gebetan, wkwkw. Setelah berbuka dan Sholat Magrib, kebingungan menyapa kembali. Waktu masih menunjukan pukul 18.55 saat aku keluar dari masjid. Then, well! Ica mengajak kami jalan-jalan kembali ke Tugu Nol KM Jogja! What?! Seperti tidak ada objek lain saja. tapi, yaaaah aku memaklumi, kami ini jalan-jalan ditengah bulan ramadhan, budget terbatas, perencanaan kurang pas dan inilah konsekuensinya, rundown perjalanan jadi tidak jelas. Haha.
                Kami berjalan melintasi deretan pedangan batik, cinderamata, lukisan tangan, makanan, minuman, jajanan, sampai pertunjukan jalanan bisa kami saksikan disini. Aku meminta untuk sejenak duduk di bangku taman dekat situ. Angin malam itu rupanya sangat bersahabat. Malioboro yang mulai padat seakan menguap begitu saja. Tia masih berusaha mencari cara untuk bisa menemukan oleh-oleh bakpia kukus yang saat itu memang sedang booming2nya jadi oleh-oleh khas Jogja. Tiba-tiba seorang bapak penarik becak motor a.k.a cator menawarkan jasa antar keliling malioboro, alun-alun utara, dan pusat oleh-oleh hanya dengan 20k untuk 3 orang. Well, then his offering was accepted. Kita bertiga naik becak ukuran pada umumnya, bertiga, bertiga CUY!! Yaaa walaupun kita bertiga tidak ada yang punya badan diatas rata-rata tapi tetap saja pantat kita tak bisa dengan nyaman duduk disana. Si bapak mulai meluncur. Ica yang duduk dipangku diantara aku dan Tia mulai histeris ketakutan. Aku sekuat tenaga memeganginya. Kalau diingat-ingat mirip adegan Maudy Ayunda pada film Trinity Travelling saat naik bajaj di Filiphina. Persis! Cewek bertiga, histeris diatas becak dengan muatan yang tak biasa. Kurang ajarnya, Ica masih sempat memintaku mengambil foto.  Dan alhasil hanya rentetan foto blur yang rasanya kurang pas jika aku upload disini.
                Setelah mendapatkan 2 kotak bakpia kukus, kami kembali ke tempat awal kami berangkat bersama si bapak. Aku mengajukan usul untuk selanjutnya kita pergi ke kedai Kopi Joss saja karena disana buka sampai malam. Mengingat kedai Kopi Joss itu identik dengan tempat nongkrong cowok, Tia mengajak temannya yang di Jogja untuk bergabung. Well, sounds good! Kita bertemu dengan temannya Tia di depan KF* Malioboro lalu sama-sama berjalan kaki menuju angkringan kopi Joss di yang berada sekitar 100m dari stasiun Jogja. Kami saling berkenalan. Namanya Azmi dn Rizky. Oke, kesan pertama ku  adalah mereka cowok-cowok pendiam. Hahahaa. Namun, semua berubah ketika obrolan malam itu mulai seru dan menjurus pada hal-hal pribadi. Ternyata Azmi dan Rizky adalah tipikal anak yang mudah akrab. Oiya, sebelum aku lupa. Agenda nyobain kopi Joss ini adalah salah satu bucket list nya Ica yang penasaran dengan Kopi yang ditambahkan arang tersebut. Congrats! One of your list has been done! Buat kalian yang mau main ke Jogja, aku kasih tau aja plis siapin uang koin yang banyak. Karena kalau kalian nongkrong di angkringan pinggir jalan gini lebi dari 2 jam, percaya deh, jumlah pengamen a.k.a street artist yang nyambangin kalian bakalan ngabisin lebih banyak dari harga kopinya. Bisa dibilang mereka dateng 10-15 menit. Kalau kalian cuek sih bisa ajah, Cuma aku kadang ga tega aja apalagi kalau dia nyanyi nya bagus terus minta kita buat request lagu apa yang mau mereka nyanyiin buat kita. Hehehe..  salah satu pengamen yang menghampiri kami menawarkan apa yang mau ia nyanyikan untuk kami. Well, aku meminta ia menyanyikan lagu Ebiet G. Ade- Cinta sebening embun. Eh, dia malah ketawa dan bilang “waah, yang lain aja ya mba. Berita kepada kawan deh.”.. “Lha itu mah lagu soundtrack nya iklan2 bulan puasa mas, hehe” .. akhirnya ia menyanyikan lagi lain. Wkwkw.
                Kami nongkrong di angkringan kopi Joss sampai ja 12 malam. Suasana Jogja begitu nyaman dan seakan tak mengijinkan kami beranjak pulang. Namun, disisi lain kita tidak punya pilihan yang lebih baik untuk beristirahat malam itu. Stasiun menjadi satu-satunya tempat yang terjangkau bagi kami untuk melepas lelah. Setelah diantar oleh Azmi dan Rizky sampai di stasiun Jogja, kami langsung menuju peron stasiun untuk mengecas handphone. Petugas keamanan sempat menanyai kami mengapa tengah malam begini sudah di stasiun padahal kereta kami jam 05.30 besok. Hahaha sepertinya si bapak faham dan mengizinkan kami untuk masuk dan “menunggu” di peron stastiun. Bangku peron yang cukup panjang menjadi tempat bersandar yang cukup nyaman. Ditambah saat jam-jam tersebut stasiun sedang tidak terlalu ramai. Waktu menunjukan pukul 01.30 saat kami mulai “mensetting” posisi tidur senyaman mungkin saat itu. Aku yang sebelumnya sudah membeli makan sahur berinisiatif untuk makan sahur sebelum tidur. Takut kesiangan atau malas bangun. Wkwk!
                Meskipun stasiun kereta api dewasa ini sangat jauh lebih baik dari segi apapun. Namun, keamanan tidak bisa 100% kita jaminkan padanya. Kami yang saat itu mengisi daya baterai terpaksa tidur bergiliran agar satu sama lain bisa mengawasi barang-barang kami. Saat waktu menunjukan pukul 02.30 kami memilih pindah ke musholla stasiun karena dirasa lebih nyaman dan tidak terlalu berisik oleh kereta yang lalu lalang. Kami bisa tidur lebih baik di musholla stasiun. Meskipun, sebenarnya bukan hal yang etis tidur didalam musholla. Namun, posisi kami sebagai “orang yang sedang dalam perjalanan” tidak punya banyak pilihan. Waktu terasa begitu cepat ketika tiba-tiba suara orang-orang mula lebih ramai. Ketika itu jam menunjukan pukul 04.00. oke waktunya bangun lel! Sebuah fenomena lucu sekaligus menggelikan saat aku melihat ada seorang ibu yang entah sengaja atau tidak sedang sholat tepat di depan Ica yang sedang nikmat2nya tidur . hahaha! Aku membangunkannya dan seketika wajah kaget nan heran terurai dari Ica. Kami bertiga bergiliran ke kamar mandi untuk sekedar buang air dan cuci muka. Saat jam menunjukan pukul 05.00 setelah aku menunaikan sholat subuh, kami menunggu kereta jurusan Solo dan tiba di Solo pukul 8-an. Konsekuensi lain dari unplanned trip kali ini adalah kita harus pulang ke semarang dengan bis yang ongkosnya 3x harga tiket keretaLL
                Jogja selalu menyimpan cerita tersendiri. Tentang perjalanan penuh kejutan. Tak terduga dan tak pernah biasa. Jogja selalu menjadi tempat baru meskipun kami sudah sekian kali bertemu. Perjalanan kali ini tak hanya mendekatkan kami, ia mengajari kami banyak hal. Yaaaa, sometimes not all girls are made from someting nice. Sometimes, her beauty and strength is created from survival, adventure, brain and no fear. Learning is not only about what you know from books but also how you make a decision from your choice. And it`s really different between we knowing the path and walking the path.
Thanks buat kalian yang udah mau baca. Semoga bermanfaat. 

Jalan-jalan Ala Mahasiswa Setengah PNS Part 2

  Selepas isya, Aku, Apip dan Mas Azmi berjanji bertemu di depan minimarket dekat kosanku. Apip sudah siap dengan tas jinjing berisi laporan...